KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa
terpanjatkan ke Hadirat-Nya, atas berkat, rahmat, dan bimbingan-Nya, penulis
telah dapat menyelesaikan Tugas ini.
Penulis menyadari bahwa
selama dalam penyusunan tugas ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak, semoga Tuhan melipat
gandakan kebaikannya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
sedalam-dalamnya dan sekaligus penghargaan kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya tugas ini.
Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan tugas masih banyak kekurangan baik dari segi cara penulisan
maupun materi kajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik
ataupun masukan yang bersifat membangun untuk perbaikan tugas kedepan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan semua pihak dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk, ilmu yang
bermanfaat, serta ridha-Nya kepada kita. Amin
Ya Rabbal ‘aalamin.
Bandung,
September 2010
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1.
Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2.
Perumusan Masalah ........................................................... 2
1.3.
Tujuan Penulisan ................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 4
2.1. Pengertian Keuangan Daerah.............................................. 4
2.1.1.
Sistem Informasi Keuangan Daerah ....................... 5
2.2.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD)....... 6
2.2.1. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah.............................. 7
2.2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran
Daerah.............................. 8
2.2.3 Struktur
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah........................................................................... 9
2.3. Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
(APBD)........................................................................ 10
2.3.1. Tahap Persiapan dan Penyusunan Anggaran
(Budget Preparation).................................................... 10
2.3.2. Tahap
Ratifikasi Anggaran......................................... 11
2.3.3. Tahap
Pelaksanaa Anggaran (Budget
Implementation)............................................................ 11
2.3.4. Tahap
Pelaporan dan Evaluasi Anggaran.............. 12
2.4. Pelaksanaan,
Penatausahaan APBD................................. 13
2.4.1. Pelaksanaan
APBD..................................................... 13
2.4.2. Penatausahaan
Keuangan Daerah......................... 16
2.5.
Akuntansi Keuangan Daerah............................................... 17
2.6.
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah ...................................................................................... 21
2.7.
Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan
Ganti Rugi...... 21
2.7.1. Penyelesaian
Kerugian Daerah................................ 22
2.7.2. Pengenaan
Ganti Kerugian Negara/Daerah.......... 23
2.8.
Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan
Daerah..... 24
BAB III KESIMPULAN................................................................................. 25
REFERENSI.................................................................................................. 26
A.
Buku ................................................................................................... 26
B.
Perundang-Undangan .................................................................... 27
C.
Internet ............................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Indikasi keberhasilan
otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan,
serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila daerah dapat mengelola
pemerintahannya dengan diantaranya adalah Administrasi Keuangan. Sistem pengelolaan Keuangan yang baik akan
memberikan manfaat pada efektivitas pelayanan public dengan pemberian pelayanan
yang tepat sasaran, meningkatkan mutu pelayanan publik, biaya pelayanan yang
murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam penggunaan
resources, alokasi belanja yang lebih
berorientasi pada kepentingan publik, dan meningkatkan public costs awareness
sebagai akar pelaksanaan pertanggung jawaban publik.
Pemberian otonomi yang luas
dan desentralisasi yang sekarang ini dinikmati pemeirntah daerah Kabupaten dan
Kota, memberikan jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam
sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Kemunculan UU No. 22
dan 25 tahun 1999 telah melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru
tersebut berupa tuntutan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang
berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi
tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuat laporan keuangan dan
transparansi informasi anggaran kepada publik.
1.2.
Perumusan
Masalah
Belajar dari pengalaman internasional, pelaksanaan
otonomi daerah tidak selalu harus dibiayai oleh pendapatan yang berasal dari
daerah itu sendiri. Namun, secara pasti dapat dikatakan bahwa apabila semakin
maju industri suatu negara maka pelaksanaan demokrasi akan semakin baik.
Penyelenggaraan pemerintahan yang semakin demokratis akan tercermin dalam
pelaksanaan otonomi daerah yang semakin besar. Pelaksanaan otonomi yang semakin
besar tersebut dari aspek keuangan tercermin dari expenditure ratio yang
cenderung semakin besar. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah dalam suatu negara tidak selalu harus diukur dari besarnya peranan PAD
untuk membiayai seluruh aktivitas pemerintahan daerah.
Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal,
kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) juga perlu diatur
dengan Undang-undang sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk menghindari high cost
economy, telah diterbitkan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang PDRD, kemudian
sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, telah direvisi dengan UU Nomor 34
Tahun 2000 tentag PDRD. Prinsip-prinsip yang dianut dalam UU 34/2000 bukan
berarti dimaksudkan untuk menghambat pelaksanaan otonomi daerah tetapi
implementasi sistem perpajakan dan retribusi yang baik dan bersifat universal.
Sesuai dengan UU 25/1999, perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah dilakukan melalui Dana Perimbangan (DP) yang terdiri dari:
a) Bagian
Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Perseorangan, dan Sumber
Daya Alam (SDA);
b) Dana
Alokasi Umum (DAU);
c) Dana
Alokasi Khusus(DAK).
Pelaksanaan otonomi Daerah secara efektif telah dimulai
sejak Januari 2001. Dari sisi keuangan negara hal tersebut telah membawa
konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar.
Sebagaimana diketahui dalam APBN tahun 2001, total dana yang didaerahkan melalui
Dana Perimbangan (DP) adalah sebesar Rp81,67 triliun.
Pembayaran tunggakan pinjaman Pemda dan BUMD pada
dasarnya merupakan kewajiban daerah sebagai pihak yang memperoleh manfaat dari
pinjaman tersebut.
1.3.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan
pengertian administrasi keuangan daerah, hubungan keuangan daerah dengan
keuangan pusat, serta pengurusan keuangan daerah
2. Menjelaskan
pengertian APBD, fungsi dan prinsip anggaran daerah, struktur APBD,
sumber-sumber penerimaan daerah, belanja daerah, serta pembiayaan daerah
3. Memahami
siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan
rancangan hingga penetapan APBD
4. Memahami
proses pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban APBD
5. Menjelaskan
pengertian penggantian kerugian daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam
penjelasan pasal 156 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah adalah sebagai berikut :
“Keuangan
daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan
segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Menurut UU No. 17 tahun 2003 Keuangan Daerah/Negara adalah semua dan kewajiban Daerah/Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapay dijadikan milik
negara/daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Adapun ruang lingkup keuangan daerah
meliputi:
1. hak daerah untuk memungut
pajak daerah dan
retribusi daerah
serta melakukan pinjaman;
2. kewajiban
daerah untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. penerimaan
daerah;
4. pengeluaran
daerah;
5. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
6. kekayaan
pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau
kepentingan umum. Rangka
2.1.1.
Sistem Informasi Keuangan Daerah
Sistem
Informasi Keuangan Daerah (SIKD) adalah suatu fasilitas yang diselenggarakan
oleh Menteri Keuangan untuk mengumpulkan, melakukan validasi, mengolah,
menganalisis data, dan menyediakan informasi keuangan daerah dalam rangka
merumuskan kebijakan dalam pembagian dana perimbangan, evaluasi kinerja
keuangan daerah, penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) serta memenuhi kebutuhan lain, seperti statistik keuangan negara.
SIKD
ini diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sumber informasi bagi sistem
informasi keuangan daerah terutama adalah laporan informasi APBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 1999, yaitu: informasi
mengenai pengelolaan keuangan daerah dan informasi mengenai kinerja keuangan
daerah dari segi efisiensi dan efektivitas keuangan dalam rangka desentralisasi.
Tujuan
penyelenggaraan SIKD adalah:
a.
membantu Menteri Keuangan dalam merumuskan
kebijakan keuangan daerah;
b.
membantu menyediakan data dan informasi
kepada Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) pacla
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
c.
membantu Menteri Keuangan dan instansi
terkait IainnYa dalam melakukan evaluasi kinerja keuangan daerah, penyusunan
RAPBN, dan kebutuhan lain seperti statistik keuangan negara;
d.
membantu pemerintah daerah dalam menetapkan
kebijakar keuangan dan menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dar Belanja
Daerah (RAPBD), pemerintahan, dan pembangunan di Daerah.
2.2. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya
disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir
8 tentang Keuangan Negara). Semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah
harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan dan pengeluaran daerah
tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi.
Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan
dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam
APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran.
APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu.
Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan
dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan
sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian,
pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
2.2.1. Fungsi-Fungsi
Anggaran Daerah
Berbagai fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :
1.
Fungsi Otorisasi
Anggaran
daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun
yang bersangkutan.
2.
Fungsi Perencanaan
Anggaran
daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
3.
Fungsi Pengawasan
Anggaran
daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah
daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4.
Fungsi Alokasi
Anggaran
daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya,
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5.
Fungsi Distribusi
Anggaran
daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
6.
Fungsi Stabilisasi
Anggaran
daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
2.2.2.
Prinsip-Prinsip Anggaran Daerah
Prinsip-prinsip dasar (azas) yang berlaku di bidang
pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku juga dalam pengelolaan Anggaran Negara
/ Daerah sebagaimana bunyi penjelasan dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, yaitu :
1. Kesatuan
Azas
ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam
satu dokumen anggaran.
2. Universalitas
Azas
ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam
dokumen anggaran.
3. Tahunan
Azas ini membatasi
masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun tertentu
4. Spesialitas
Azas ini mewajibkan
agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya.
5. Akrual
Azas
ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang
seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang
seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada
kas
6. Kas
Azas
ini menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi
pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah Ketentuan mengenai pengakuan
dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud
dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003,
dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
2.2.3 Struktur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Struktur
APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening
Kas Umum Daerah, yang menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah
dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah.
Pendapatan daerah terdiri
atas:
a. Pendapatan Asli
Daerah (PAD);
b. Dana Perimbangan;
dan
c. Lain-lain
pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan daerah, selain PAD dan Dana Perimbangan,
adalah Lain-lain Pendapatan Daerah yang
Sah yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah yang merupakan bagian dari Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah merupakan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa
yang berasal dari pemerintah, masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau
luar negeri yang tidak mengikat.
2.
Belanja Daerah
Komponen berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja
daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi
ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran
yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah dipergunakan
dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang
ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi,
program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi
disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.
2.3.
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam
masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan, pemerintah melaksanakan kegiatan keuangan dalam siklus
pengelolaan anggaran.
Pada dasarnya, siklus anggaran terdiri atas empat tahap,
yaitu:
1. Tahap
persiapan dan penyusunan anggaran;
2. Tahap
ratifikasi;
3. Tahap
implementasi; dan
4. Tahap
pelaporan dan evaluasi.
2.3.1. Tahap Persiapan dan Penyusunan
Anggaran (Budget Preparation)
Pada
tahap persiapan dan penysuunan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas
dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang
perlu diperhatikan adalah sebelum menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya
terlebih dahulku dilakukan penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Selain
itu, harus disadari adanya masalah yang cukup berbahaya jika anggaran
pendapatan diestimasi pada saat bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang
anggaran pengeluaran.
Dalam
persoalan estimasi, yang perlu mendapat perhatian adalah terdapatnya faktor “uncertainty”
(tingkat ketidakpastian) yang cukup tinggi. Oleh sebab itu manajer keuangan
publik harus memahami betul dalam menentukan besarnya suatu mata anggaran.
Besarnya suatu mata anggaran sangat tergantung pada teknik dan sistem anggaran
yang digunakan. Besarnya mata anggaran pada suatu anggaran yang menggunakan “line-item
budgeting”. Akan berbeda pada “performance budgeting”, “input-output
budgeting”, “program budgeting”, atau “zero based budgeting”.
2.3.2. Tahap Ratifikasi Anggaran
Tahap
berikutnya, adalah budget ratification. Tahap ini merupakan tahap yang
melibatkan proses politik yang cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif
(kepala daerah) dituntut tidak hanya memiliki “managerial skill” namun
juga harus mempunyai “political skill”, “salesmanship”, dan “coalition
building” yang memadai, integritas dan kesiapan mental yang tinggi dan
eksekutif sangat penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam
tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan
memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan
bantahan-bantahan dari pihak legislatif.
2.3.3. Tahap Pelaksanaa Anggaran (Budget
Implementation)
Setelah
anggaran disetujui oleh legislatif, tahap berikutnya adalah pelaksanaan
anggaran. Dalam tahap ini, hal terpenting yang harus diperhatikan oleh manajer
keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem
pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal ini bertanggung jawab
untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan handal untuk perencanaan
dan pengendalian anggaran yang telah disepakati, dan bahkan dapat diandalkan
untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem akuntansi yang
digunakan hendaknya juga mendukung pengendalian anggaran.
2.3.4. Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran
Tahap
terakhir dari siklus anggaran asalah pelaporan dan evaluasi anggaran. Tahap persiapan,
ratifikasi, dan implementasi anggaran terkait dengan aspek operasional
anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek
akuntabilitas. Apabila pada tahap implementasi telah didukung dengan sistem
akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka pada tahap
pelaporan dan evaluasi anggaran biasanya tidak akan menemui banyak masalah.
Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja
Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya
tujuan bernegara. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
ditetapkan setiap tahun dengan peraturan daerah. Dalam menyusun APBD,
penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian atas
tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup. Pendapatan, belanja dan
pembiayaan daerah Pada akhir pemelajaran ini peserta dapat memahami siklus
anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan rancangan
hingga penetapan APBD.
Pemerintah Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin
kecukupan dana dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu
diperhatikan kesesuaian antara kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya.
Pengaturan kesesuaian kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban
APBD.
2. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai
dari dan atas beban APBN.
3. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
4. Penyelenggaraan
urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan kepada desa,
didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.
Seluruh penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah
baik dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan
harus dianggarkan dalam APBD. Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD
harus memiliki dasar hukum penganggaran. Anggaran belanja daerah diprioritaskan
untuk melaksanakan kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan.
2.4. Pelaksanaan, Penatausahaan
APBD
2.4.1. Pelaksanaan APBD
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.
Pelaksanaan APBD meliputi pelaksanaan anggaran
pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Penjelasan berikut ini didasarkan pada
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat,
yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan
dalam laporan realisasi anggaran. Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan Anggaran oleh Kepala SKPD dilaksanakan
setelah Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD
dengan persetujuan Sekretaris Daerah. Proses penetapan DPA-SKPD adalah sebagai
berikut. APBD ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun
rancangan DPA-SKPD.
Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau
menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan
SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD berupa uang atau
cek harus disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1(satu) hari kerja
oleh Bendahara Penerimaan dengan didukung oleh bukti yang lengkap.
Semua penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas
umum daerah. SKPD dilarang melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam
peraturan daerah. SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau
kegiatannya berdampak pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan
dan penerimaan tersebut.
Semua penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus
segera disetor ke kas umum daerah dan berbentuk barang menjadi milik/asset daerah
yang dicatat sebagai inventaris daerah. Pengembalian atas kelebihan pajak,
retribusi, pengembalian tuntutan ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan
membebankan pada rekening penerimaan yang bersangkutan untuk pengembalian penerimaan
yang terjadi dalam tahun yang sama. Untuk pengembalian kelebihan penerimaan
yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada rekening belanja tidak
terduga. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi
untuk setiap pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada
anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak
cukup tersedia dalam APBD. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas
beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap
dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat
dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan
dalam lembaran daerah. Pengeluaran kas tersebut tidak termasuk belanja yang
bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.
Pembayaran atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan
Surat Penyediaan Dana (SPD), atau Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD),
atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPD. Khusus untuk biaya pegawai
diatur bahwa gaji pegawai negeri sipil daerah dibebankan dalam APBD. Pemerintah
daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah
berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan
daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD). Semua penerimaan dan pengeluaraan
pembiayaan daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah.
Untuk pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari
rekening dana cadangan ke Rekening Kas Umum Daerah dilakukan berdasarkan
rencana pelaksanaan kegiatan, setelah jumlah dana cadangan yang ditetapkan
berdasarkan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan yang berkenaan
mencukupi. Pemindahbukuan tersebut paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan
yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran
berkenaan sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan daerah tentang
pembentukan dana cadangan. Pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke rekening
kas umum daerah tersebut dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh
kuasa BUD atas persetujuan PPKD.
Penjualan kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pencatatan penerimaan atas
penjualan kekayaan daerah didasarkan pada bukti penerimaan yang sah. Penerimaan
pinjaman daerah didasarkan pada jumlah pinjaman yang akan diterima dalam tahun
anggaran yang bersangkutan sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian
pinjaman berkenaan. Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam
nilai rupiah. Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah didasarkan pada
perjanjian pemberian pinjaman daerah sebelumnya, untuk kesesuaian pengembalian
pokok pinjaman dan kewajiban lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.
Pelaksanaan pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan pembentukan
dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman
daerah. Jumlah pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan
dalam tahun anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam
peraturan daerah. Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan yang
ditransfer dari rekening kas umum daerah ke rekening dana cadangan dilakukan
dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.
2.4.2. Penatausahaan
Keuangan Daerah
Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara
penerimaan, bendahara pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau menguasai
uang/barang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Penerimaan daerah disetor ke rekening kas umum daerah
pada bank pemerintah yang ditunjuk dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima
nota kredit.
Bendahara penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan
terhadap seluruh penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi
tanggung jawabnya. Bendahara penerimaan pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan
secara administratif atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya
dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya. Disamping pertanggungjawaban secara administratif, Bendahara
penerimaan pada SKPD wajib mempertanggung jawabkan secara fungsional atas pengelolaan
uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penerimaan kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya.
2.5. Akuntansi Keuangan Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi
penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan
pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi
pemerintahan yang bersifat lokal (seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya
hanya bersifat lokal) sering dikelola oleh instansi Pusat. Hal ini sering
memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar daripada apabila fungsi
tersebut dilaksanakan oleh Pemda.
Konsep good governance di bidang dana perimbangan
sebagaimana diatur melalui PP Nomor 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat
dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah
melibatkan pihak universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keppres,
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPOD yang mayoritas
anggotanya berasal dari Pemda. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan
tersebut dapat diketahui semua lapisan masyarakat.
Implementasi prinsip-prinsip good governance pengelolaan
keuangan daerah dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal telah
diatur dalam PP 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah sebagai derivasi atau penjelasan lebih lajut dari UU 25/1999. PP
tersebut telah mengatur secara tegas mengenai pengelolaan keuangan daerah,
yaitu :
• Pengaturan
: Pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah,
sedangkan mengenai sistem dan prosedurnya (penatausahaan) diatur dengan
peraturan kepala daerah;
• Perencanaan
: Penganggaran berdasarkan pendekatan kinerja. Ke depan penganggaran harus
diarahkan pada unified budget, sehingga tidak akan ada lagi dikhotomi antara
anggaran rutin dan pembangunan yang selama ini sering tumpang tindih.
• Pelaksanaan
: Penatausahaan berdasarkan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang
berlaku. Selama ini, pencatatan keuangan daerah bersifat pembukuan tunggal
(single entry) dan berbasis kas (cash basis). Ke depan akan di arahkan pada
pembukuan berpasangan (double entry) dan secara bertahap akan mengarah pada
basis akrual (acrual basis).
• Pertanggungjawaban
: Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah terdiri dari Perhitungan APBD, Nota
Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca.
Selanjutnya PP 11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah
yang merupakan produk hukum lain yang diamanatkan oleh UU 25/1999, menyatakan
perlunya suatu sistem informasi keuangan daerah. Sebagai dokumen publik
informasi tentang keuangan daerah dapat diketahui oleh masyarakat secara
terbuka. Untuk memudahkan masyarakat mendapatkan informasi mengenai penggunaan
dana yang diperoleh dari masyarakat melalui pajak dan retribusi, perlu adanya
suatu sistem informasi keuangan daerah (SIKD). Melalui SIKD, informasi tidak
lagi ditujukan hanya untuk konsumsi lokal dan nasional, tetapi sudah menjadi
kebutuhan dan tuntutan internasional sebagaimana dijabarkan dalam Government
Financial Statistics (GFS) yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund
(IMF) dimana Indonesia juga sebagai salah satu anggota
Untuk melakukan penyusunan laporan keuangan, Pemerintah
daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar
akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai entitas pelaporan dan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai entitas akuntansi.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian
prosedur mulai dari proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai
dengan pelaporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang
dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi komputer. Proses
tersebut didokumentasikan dalam bentuk buku jurnal dan buku besar, dan apabila
diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya
meliputi:
1.
prosedur akuntansi penerimaan kas;
2. prosedur akuntansi
pengeluaran kas;
3. prosedur akuntansi
aset tetap/barang milik daerah; dan
4. prosedur akuntansi
selain kas.
Sistem akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan
berpedoman pada prinsip pengendalian intern sesuai dengan peraturan pemerintah
yang mengatur tentang pengendalian internal dan peraturan pemerintah tentang standar
akuntansi pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan daerah dilaksanakan oleh
PPKD. Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh PPKSKPD. PPK-SKPD
mengkoordinasikan pelaksanaan sistem dan prosedur penatausahaan bendahara
penerimaan dan bendahara pengeluaran.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas
pelaporan menyusun laporan keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi
anggaran;
2. neraca;
3. laporan arus kas;
dan
4. catatan atas
laporan keuangan.
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas
akuntansi menyusun laporan keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi
anggaran;
2. neraca; dan
3.
catatan atas laporan keuangan.
2.6. Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pengelolaan
keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar
pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini
berarti, bahwa APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan
semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun
anggaran tertentu. Dengan demikian, pemungutan semua penerimaan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk memenuhi target
yang ditetapkan dalam APBD. Semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan
sasaran yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian,
pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Semua
penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka desentralisasi dicatat
dan dikelola dalam APBD. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah yang
tidak berkaitan dengan pelaksanaan dekosentrasi atau tugas pembantuan
merupakan penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. APBD,
Perubahan APBD, dan Perhitungan APBD ditetapkan dengan peraturan daerah dan
merupakan dokumen daerah.
2.7. Tuntutan
Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi
Ketentuan mengenai penyelesaian maupun pengenaan ganti
kerugian negara/daerah diatur dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004
tentang Keuangan Negara, Bab XI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab V Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
2.7.1. Penyelesaian
Kerugian Daerah
Penyelesaian kerugian
daerah adalah sebagai berikut :
a. Setiap
kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau
kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Bendahara,
pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya
melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara
langsung merugikan negara, wajib menggantikan kerugian tersebut.
c. Setiap
pimpinan kementrian negara/lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementrian
negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari
pihak manapun.
d. Setiap
kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau oleh kepala SKPD
kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.
e. Segera
setelah kerugian daerah diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, atau pejabat lain yang nyatanyata melanggar hukum dapat segera
dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut
menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud.
f. Jika
surat keterangan tanggung jawab mutlak (SKTJM) tidak mungkin diperoleh atau
tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, maka
gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan
pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
g. Pengenaan
ganti kerugian daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK. Apabila dalam
pemeriksaan kerugian daerah ditemukan unsur pidana, maka BPK menindaklanjutinya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h. Pengenaan
ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.
Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
i. Bendahara,
pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang telah ditetapkan untuk
mengganti kerugian negara/daerah dapat
dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
j. Putusan
pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
2.7.2. Pengenaan
Ganti Kerugian Negara/Daerah
Tatacara tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun
pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara,
atau pejabat lain diatur dengan peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk
pelaksanaan ketiga paket undang-undang di atas. Ketentuan tersebut diharapkan
dapat digunakan oleh pihakpihak yang terkait dalam menangani dan menyelesaikan
kerugian negara/daerah yang semakin hari semakin bertambah besar, sehingga
dapat diantisipasi terjadinya kerugian daerah, dicegah penyelesaian kerugian daerah yang
berlarut-larut, serta dipercepat proses pemulihan kerugian daerah maupun
diperkecil terjadinya kerugian daerah.
2.8. Tata Cara Penyelesaian Kerugian Keuangan
Daerah
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui upaya damai
dilakukan apabila penggantian kerugian keuangan daerah dilakukan secara tunai
sekaligus dan angsuran dalam jangka waktu selambatlambatnya 2 (dua) tahun
dengan menandatangani Surat Keterangan Tanggung jawab Mutlak (SKTJM).
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses
Tuntutan Perbendaharaan dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan secara
tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil. Proses penuntutannya merupakan
kewenangan kepala daerah melalui Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan
dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah (Majelis Pertimbangan). Apabila
pembebanan perbendaharaan telah diterbitkan, kepala daerah melakukan eksekusi
keputusan dimaksud dan membantu proses pelaksanaan penyelesaiannya.
Penyelesaian kerugian keuangan daerah melalui proses
Tuntutan Ganti Rugi dilakukan apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai
sekaligus atau angsuran tidak berhasil.
BAB III
KESIMPULAN
Keuangan
daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah
kemudian adalah seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Pengelolaan
Administrasi Keuangan daerah merupakan salah satu perhatian utama para
pengambil keputusan di pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah
ditetapkan dan mengalami perbaikan atau penyempurnaan untuk menciptakan sistem
pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan
masyarakat, yaitu terbentuknya semangat desentralisasi, demokratisasi,
transparansi, dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan pemerintahan pada
umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah.
Secara
garis besar, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen
tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah.
REFERENSI
A.
Buku
1.
Ahmad Yani, S.H., M.M., Ak., Hubungan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Divisi Buku
Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan kedua, April,
2004.
2.
Anwar Sulaiman H., Drs., Manajemen Aset
Daerah, STIA-LAN, 2000
3.
Arifin P. Soeria Atmadja, Dr., Mekanisme
Pertanggungjawaban Keuangan Negara, PT Gramedia, Jakarta, 1986.
4.
Badan Pemeriksa Keuangan, Petunjuk
Pelaksanaan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi, 1976.
5.
BPKP, Pedoman Penanganan Penggantian
Kerugian Negara, 1993.
6.
Darise, Nurlan, Pengelolaan Keuangan
Daerah, Jakarta, Penerbit PT Indeks, 2006.
7.
__________, Pengelolaan Keuangan Pada
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Jakarta, Penerbit PT Indeks, 2007.
8.
Devas, Nick, et al., Keuangan Pemerintah
Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1989.
9.
Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H., Determinasi
Kebijakan Anggaran Negara Indonesia, Studi Yuridis, Papas Sinar Sinanti,
Jakarta 2005.
10. Gade,
Muhammad. 1998. Akuntansi Pemerintahan. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
11. Goedhart
C., Dr., Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, Terjemahan oleh
Ratmoko, S.H., Penerbit Jembatan, Jakarta, 1981.
12. Hadi,
M., Administrasi Keuangan RI, Jakarta, 1981.
13. Halim,
Abdul (editor), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, UPP
AMP YKPN, 2001.
14. Halim,
Abdul, Akuntansi Sektor Publik, Akuntansi Keuangan Daerah, Jakarta,
Penerbit Salemba Empat, 2002.
15. Kansil
CST, Prof. Drs., S.H.dan Kansil Christine S.T., S.H., M.H. 2001. Kitab
Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 – 2001; Kitab 2. Jakarta: PT Pradnya
Paramita.
16. Mardiasmo,
Prof., Dr., MBA., Ak., Akuntansi Sektor Publik, Penerbit ANDI
Yogyakarta, 2004.
17. Modul
Sistem Administrasi Keuangan Daerah II , Edisi Keempat, 2004.
18. Modul-Modul
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
19. Pendapatan
Nasional. Edisi ke-5. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
20. Rasul
Sjahrudin, Dr., SH., Pengintegrasian Sistem Akuntabilitas Kinerja dan Anggaran
Dalam Perspektif UU No. 17 Tahun 2003, PNRI, Jakarta 2003.
21. Sugijanto,
Drs., Ak., dkk., Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi Non Laba, Pusat
Pengembagan Akuntansi FE-UI, Jakarta, 1995.
B.
Perundang-Undangan
1. Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
2. Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1997 tentang Tuntutan Ganti Rugi dan Tuntutan
Perbendaharaan Keuangan dan Barang Daerah.
3. Peraturan
Pemerintah No. 14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah.
4. Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
5. Peraturan
Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
6. Peraturan
Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan dan Pertanggung Jawaban
Keuangan Daerah.
7. Peraturan
Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
8. Peraturan
Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
9. Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah.
10. Undang-Undang
No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan
Negara.
11. Undang-Undang
No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
12. Undang-Undang
No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
13. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
14. Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
C.
Internet
1. www.pusdiklatwas.bpkp.go.id
4. www.radioprssni.com