Kamis, 31 Oktober 2013

KERJASAMA ANTAR DAERAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, Bangsa Indonesia telah dihadapkan kepada tantangan persaingan dalam perekonomiannya. Hal itu ditandai dengan adanya perdagangan bebas yang sudah masuk kedalam sistem perekonomian Indonesia. Itu juga menyebabkan persaingan dalam hal perdagangan pun akan meningkat seiring dengan waktu.
Pemerintah harus bisa mengetahui apa yang seharusnya diperbaiki di dalam meningkatkan perekonomiannya. Pemerintah harus bisa memberikan suatu fasilitas kepada public untuk mempermudah jalannya perekonomiannya. Tak lepas dari itu, pemerintah harus ekstra keras menyiapkan dana dalam rangka pembangunan nasional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Didalam usaha pemerintah untuk pembangunan yang meningkat dengan cepat ini tidak mungkin dipenuhi hanya oleh pemerintah, terutama karena keterbatasan dana. Karena itu keikutsertaan sektor swasta dalam pembangunan melalui pola kemitraan sangat membantu usaha menanggapi permintaan jasa khususnya.
Dari uraian diatas maka, penulis akan memaparkan tentang kerjasama pemerintah-swasta (KPS). Dan karena memang dengan keterbatasan wawasan penulis maka penulis akan mengerucutkan tentang kerjasama pemerintah-swasta dalam pembangunan infrastruktur.
Permintaan terhadap pelayanan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara udara, telekomunikasi, dan air bersih meningkat dengan pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Untuk memenuhi permintaan jasa infrastruktur yang meningkat dengan cepat ini tidak mungkin dipenuhi hanya oleh pemerintah, terutama karena keterbatasan dana. Karena itu keikutsertaan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur melalui pola kemitraan sangat membantu usaha menanggapi permintaan jasa infrastruktur tersebut.
B.     Batasan masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka untuk menghindari perbedaan persepsi dalam memahami dan mengartikan masalah. Maka penulis perlu memberikan batasan masalah sesuai dengan judul, yaitu : kerjasama pemerintah swasta(KPS) dalam pembangunan infrastruktur.

C.    Rumusan masalah
Berdasarkan  latar belakang di  atas, maka  rumusan masalah dalam  makalah ini  adalah :
Bagaimana cara pemerintah melaksanakan pembangunan dalam infrastruktur dengan keterbatasan dana yang dimiliki?

D.    Tujuan
Berdasarkan  permasalahan  di  atas, maka  tujuan  pembuatan makalah  ini  adalah  untuk “menjelaskan dan menganalisa Kerjasama pemerintah-swasta(KPS)  didalam pembangunan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia.”

E.     Manfaat
Apabila pembaca bisa menganalisa dan mengerti hubungan pemerintah-swasta dalam pembangunan ekonomi maka, pembaca akan mendapatkan suatu gambaran yang dimana gambaran itu akan bisa berguna untuk masa depan sebagai evaluasi pemereintah.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Kemitraan/kerjasama Pemerintah Swasta disingkat KPS atau dalam bahasa Inggris  disebut sebagai Public Private Partnership atau disingkat PPP atau P3 adalah suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian ini , keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam mlakukan kerjasama ini risiko dan manfaat potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada pemerintah dan swasta.
Bentuk yang banyak dikenal dengan istilah BOT singkatan Build Operate and Transfer atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Bangun Kelola dan Alih Milik tetapi sebenarnya masih banyak bentuk yang bisa digunakan seperti Outsourcing sebagai bentuk paling sederhana sampai bentuk Bangun Kelola dan Miliki atau dalam bahasa Inggrisnya disebut sebagai Build Operate and Own (BOO).
PPP  merupakan  kemitraan  Pemerintah    Swasta  yang melibatkan investasi  yang besar/ padat modal dimana sector  swasta membiayaai, membangun, dan mengelola prasarana dan sarana, sedangkan pemerintah sebagai mitra yang menangani  pengaturan pelayanan, dalam hal ini tetap  sebagai  pemilik asset dan pengendali pelaksanaan kerjasama.

B.     Kebutuhan PPP
Dalam 3 dan 5 tahun kedepan sejumlah kota-kota Metropolitan di Indonesia seperti, Jakarta, Bandung, Semarang, Denpasar dan Banjarmasin berpandangan sama  bagaimana mengatasi masalah terbatasnya penyediaan infrastruktur bagi daerahnya, dengan  terbatas pula dari sisi pembiayaan pemeintah daerah.
Hal tersebut tentunya dapat diupayakan secara komperhensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun nantinya  swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan infrastruktur yang  merupakan utilitas umum perlu dikendalikan oleh Pemerintah, maka rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.
Pola  kerjasama  pun  dapat dicari, setelah dilakukan kajian terhadap pengalaman beberapa negara dalam melakukan kerjasama pembangunan dengan pihak swasta, yaitu dapat berupa BOT (Built Operate, Transfer) dipandang cocok diterapkan dalam investasi jangka panjang, selama masa konsesinya dengan membiayai, membangun dan mengoperasikan. Bentuk  badan usaha yang akan melakukan kerjasama tersebut bisa dilakukan dalam bentuk Joint Venture (usaha patungan) atau Joint Operation (kerjasama operasi gabungan). Biaya pengadaan tanah lahan yang dibutuhkan ditanggung oleh Pemerintah atau sekaligus oleh pihak Swasta yang akan diperhitungkan dalam masa konsesi, hal  tersebut telah dilakukan sejak tahun 1994 karena terbatasnya dana APBN/ APBD.

C.    KPS dalam Pengelolaan Infrastruktur.
Pemerintah dalam menjalankan peranannya senantiasa berupaya menyediakan barang dan pelayanan yang baik untuk warganya terutama dalam penyediaan infrastruktur. Penyediaan infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah bagi warga negaranya karena infrastruktur tidak hanya dipandang sebagai public goods tetapi lebih kepada economic goods. Oleh karena itu,  pemerintah memiliki kepentingan untuk membangun infrastruktur yang penting bagi masyarakat.
Terbatasnya dana yang dimiliki, menyebabkan pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti jalan, jembatan, jaringan air minum, dan pelabuhan. Sesuai data dari BAPENAS, diketahui bahwa estimasi kebutuhan investasi infrastruktur pada tahun 2010 -20014 sebagaimana digambarkan dalam grafik dibawah ini
Dari grafik, terdapat informasi bahwa dari total biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastuktur, hanya + 31% saja yang mampu untuk dibiayai oleh pemerintah melalui APBN, sementara sisanya yang + 69%  direncanakan diperoleh dari sumber lain di luar APBN.
 Berdasarkan model pengelolaan infrastruktur terdapat 4 (empat) model pengelolaan. Di ujung sebelah kiri, pengelolaan sepenuhnya dikuasai dan dilaksanakan oleh pemerintah.  Sementara di ujung sebelah kanan, pengelolaan sepenuhnya dikuasai dan dilaksanakan oleh pihak swasta. Pada model outsourcing, manajemen pengelolaan diambil dari pihak luar dimana pihak luar tersebut bisa berasal dari pihak swasta, sementara untuk konsesi pengelolaan diserahkan kepada swasta tetapi kepemilikan aset masih di tangan pemerintah dan pengelolaannya akan dikembalikan  kepada pemerintah setelah seluruh jangka waktu yang diperjanjikan selesai.
Bentuk kerjasama konsesi dilakukan untuk sektor-sektor tertentu yang dengan alasan politik atau hukum dianggap tidak layak untuk dilakukan privatisasi.  Konsesi dapat didefinisikan sebagai bentuk pemberian hak kepada pihak swasta untuk melakukan pembangunan atau pengelolaan pada sektor tertentu (biasanya di sektor infrastruktur), dimana pihak swasta menerima penghasilan dari hasil pengelolaan tersebut, namun hak milik dari lahan/tanah tersebut tetap di tangan pemerintah.
Bentuk konsesi bisanya muncul pada situasi dimana kompetisi dalam pasar tidak berkembang dengan baik, karena adanya monopoli alamiah atau kondisi struktur yang kurang mendukung. Dengan adanya konsesi diharapkan peluang terciptanya persaingan di pasar dapat terbuka sehingga memberikan keuntungan bagi konsumen.
 Dalam penyelenggaraan infrastruktur dengan menggunakan metode konsesi terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu:


·         Tercukupinya kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan yang menjadi masalah utama   pemerintah dalam membangun infrastruktur;
·         Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan melalui persaingan yang sehat;
·         Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan infrastruktur;
·         Mendorong prinsip “pakai-bayar”, dan dalam hal tertentu dipertimbangkan kemampuan membayar dari si pemakai.

Dengan melihat keuntungan yang diperoleh tersebut, maka pemerintah perlu menciptakan kondisi yang kondusif bagi pihak swasta sebagai investor, agar mereka bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam membangun infrastruktur.
Langkah awal yang harus dilakukan dalam merancang konsesi adalah menentukan struktur, hak dan kewajiban para pihak. Satu hal yang cukup penting dalam proses ini adalah memastikan terdapat persaingan di dalamnya, artinya menciptakan struktur pasar yang berpihak pada persaingan.
Komponen lain dari perancangan adalah jangka waktu perjanjian konsesi. Terdapat beberapa konsekuensi dari penentuan jangka waktu perjanjian, perjanjian dengan jangka waktu yang lama akan menciptakan insentif yang layak bagi pihak swasta untuk melakukan investasi termasuk investasi dalam perawatan pada saat perjanjian konsesi tersebut berlangsung. Sementara perjanjian dengan jangka waktu yang pendek akan semakin memperburuk masalah terkait dengan kurangnya insentif bagi pihak swasta untuk melakukan investasi saat kerjasama tersebut akan berakhir, itu sebabnya pihak swasta biasanya menaikkan biaya penawaran.  Sisi positif dari kontrak jangka pendek pada KPS adalah dimungkinkannya tender yang kompetitif, namun konsesi jangka pendek dapat juga mengindikasikan bahwa terdapat ketidakpastian pada masa depan pasar.
Proses pemilihan calon pemegang konsesi merupakan tahapan paling penting dimana dalam tahap inilah seharusnya persaingan itu terjadi. Proses lelang/tender merupakan cara paling efektif untuk menentukan pemegang konsesi, biasanya diawali dengan melakukan pengumuman yang tersebar luas ke seluruh kalangan atau melalui surat kabar nasional. Permasalahan yang sering muncul adalah ketika pihak incumbent memiliki keuntungan dengan akses informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang baru. Masalah ini dapat diatasi melalui panitia yang menyediakan informasi yang baik dan berimbang kepada seluruh penawar. Metode alternatif yang dapat digunakan selain menggunakan metode lelang adalah metode negosiasi dan beauty contests.
Selain itu, terdapat pula resiko praktek monopoli dari pemegang konsesi yang dapat dicegah dengan langkah-langkah sebagai berikut :
·                                 Struktur kontrak yang memungkinkan terciptanya persaingan dengan menyediakan banyak alternatif penyedia layanan/jasa sehingga dapat mengurangi posisi tawar dari pemegang konsesi;
·                                 Menghindari penggunaan kriteria tender yang dapat diubah, seperti penetapan tarif atau subjek yang dapat dimanipulasi seperti technical proposal;
·                                 Adanya performance bonds dalam kontrak sehingga pemegang konsesi yang gagal  menjalankan kewajibannya akan memberikan ganti rugi;
·                                 Hak dari pemerintah sebagai pemberi konsesi untuk mengambil alih operasional dari pemegang konsesi apabila tidak dapat menjalankan pelayanannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dalam kontrak; dan
·                                 Membebankan pada pemegang konsesi kewajiban untuk meneruskan menyediakan pelayanan sampai pemegang konsesi yang baru telah ditunjuk.

D. Peranan KPPU dalam konsesi
Dalam hal ini, KPPU sebaiknya terlibat sejak proses awal konsesi tersebut dilaksanakan, sehingga advokasi dan saran terkait persaingan usaha dapat diberikan sejak proses penyusunan hingga penetapan pemegang konsesi. KPPU juga dapat membantu pemerintah dalam pemetaan struktur sektor yang akan dikonsesikan, hingga pada proses perancangan perjanjian konsesi untuk memaksimalkan dampak persaingan pada saat konsesi tersebut dilaksanakan dan juga meminimalkan peluang untuk terjadinya kolusi.
Pada proses pembentukan regulasi terkait konsesi, KPPU dapat memberikan saran pada bentuk pengaturan tarif. Dimana kewenangan untuk menetapkan tarif harus tetap ada di tangan pemerintah atau melibatkan pemerintah dalam perumusannya, sehingga pihak pemegang konsesi tidak dapat menaikkan tarif secara sepihak yang dapat merugikan konsumen.
Selain itu, jangka waktu pemberian konsesi harus jelas dan tetap mempertimbangkan insentif yang proporsional bagi pihak pemegang konsesi, karena jangka waktu pemberian konsesi yang terlalu singkat akan mempersulit pihak swasta yang ikut serta. Demikian juga jangka waktu pemberian konsesi yang terlalu lama pada satu pelaku usaha akan berdampak pada terciptanya posisi dominan dan entry barrier bagi pelaku usaha lain. Hal ini karena struktur pasar dari sektor yang dikonsesikan biasanya adalah monopoli alamiah (natural monopoly).








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kemitraan/kerjasama Pemerintah Swasta disingkat KPS atau dalam bahasa Inggris  disebut sebagai Public Private Partnership atau disingkat PPP atau P3 adalah suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta.
Berdasarkan model pengelolaan infrastruktur terdapat 4 (empat) model pengelolaan. Bentuk kerjasama konsesi dilakukan untuk sektor-sektor tertentu yang dengan alasan politik atau hukum dianggap tidak layak untuk dilakukan privatisasi.  Konsesi dapat didefinisikan sebagai bentuk pemberian hak kepada pihak swasta untuk melakukan pembangunan atau pengelolaan pada sektor tertentu (biasanya di sektor infrastruktur), dimana pihak swasta menerima penghasilan dari hasil pengelolaan tersebut, namun hak milik dari lahan/tanah tersebut tetap di tangan pemerintah.
Pada proses pembentukan regulasi terkait konsesi, KPPU dapat memberikan saran pada bentuk pengaturan tarif. Dimana kewenangan untuk menetapkan tarif harus tetap ada di tangan pemerintah atau melibatkan pemerintah dalam perumusannya, sehingga pihak pemegang konsesi tidak dapat menaikkan tarif secara sepihak yang dapat merugikan konsumen





DAFTAR PUSTAKA

Bambang Bintoro Soedjito, Peran Swasta dalam Pengembangan Infrastruktur: Kerangka Kebijakan, Pengaturan dan Kelembagaan, dalam Budhy Tjahjati
Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005
Pekerjaan Umum, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota), 2005, Philip et.al; Pemasaran Keunggulan Bangsa (The Marketing of Nations), 1997
Suyono Dikun, Pengembangan dan Pengelolan Infrastruktur, dalam Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et.al (eds); Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21, 2005



MAKALAH KERJASAMA PEMERINTAH-SWASTA DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

2 komentar: