BAB I
PENDAHULUAN
Konstitusi menjadi
dasar negara karena itu konstitusi memuat visi dan tujuan bernegara serta juga
mengemukakan prinsip dan aturan dasar yang mengatur tata kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakan. Salah satu instrumen penting yang utama dalam
sistem kekuasaan suatu negara adalah kekuasaan kehakiman, Kekuasaan dimaksud
harus senantiasa dijaga kemandiriannya dan ditingkatkan akuntabilitasnya.
Ada 2 (dua) periode
perubahan konsitusi dalam perspektif sejarah ketatanegaraan, yaitu: pertama,
perubahan konstitusi pasca kemerdekaan; dan kedua, perubahan konstitusi di
akhir periode Orde Baru dan/atau di awal periode Orde Reformasi. Ada sekitar 4
(empat) kali amandemen, yaitu pada tahun 1999 hingga tahun 2002. Rumusan pasal
yang dikemukakan di dalam UUD tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara
tegas “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Independensi harus
ditegakkan sebagai satu sisi koin mata uang yang disertai akuntabilitas pada
sisi lainnya. Hal itu dimaksudkan agar independensi yang disertai akuntabilitas
dapat secara signifikan meminimalisasi suatu potensi yang menyebabkan
terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KONSEP NEGARA/PEMERINTAHAN KONSTITUSIONAL
Perumusan UUD yang baru, baik dalam bentuk amandemen
sekarang ini apalagi kalau bisa perubahan menyeluruh dan mendasar, haruslah
mengacu kepada konsep pemerintahan konstitusional karena memang sudah menjadi
aspirasi dari perjuangan kemerdekaan bangsa. Hal ini nampak bukan saja dari
sejarah perjuangan pra kemerdekaan, periode revolusi, maupun selama tahun
1950-an, bahkan mencapai puncaknya pada perdebatan majelis konstituante yang
memang diberi mandat oleh rakyat Indonesia untuk merumuskan UUD baru yang
definitif.
Namun demikian, untuk dapat merumuskan UUD yang benar-benar
mengacu kepada pemerintahan konstitusional, maka semua pikiran-pikiran lama
yang bersumber pada paham (konsep) negara integralistik dari Prof. Soepomo
harus dibersihkan dari benak kepala kita. Kerancuan yang terjadi selama ini
disebabkan karena masih adanya dualisme dalam konsep pemikiran ketatanegaraan
kita.
Di satu pihak, ada keinginan yang kuat untuk memajukan
kehidupan bernegara modern yang mengacu kepada prinsip-prinsip universal
tentang demokrasi konstitusionalisme, the rule of law, maupun jaminan
hak asasi manusia. Akan tetapi celakanya secara sadar ataupun tidak, sengaja
ataupun tidak, kita sering kembali kepada pikiran-pikiran partikularistik yang
menjadi ciri negara integralistik.
Yang dimaksudkan di sini adalah pikiran-pikiran yang
menghendaki misalnya negara persatuan dalam pengertian sebagai satu kesatuan
dari seluruh rakyat Indonesia dan negaranya dari Sabang sampai Merauke.
Artinya, persatuan Indonesia ditafsirkan secara ketat, monolitik, solid, atau
manunggal ibarat tubuh manusia antara kepala dan badan dari Sabang sampai
Merauke. Sehingga, segala pikiran atau gagasan untuk mencari alternatif bentuk
lainnya lebih terbuka dan luwes. Jangankan federasi, bahkan otonomi yang
seluas-luasnya pun dikhawatirkan akan memecah belah Indonesia atau
merobek-robek bangsa.
Pemikiran yang keliru lainnya adalah dalam hal pembagian
kekuasaan negara. Seharusnya, pembagian ini lebih tegas dan definitif sesuai
asas trias politika. Kekuasaaan yudikatif, termasuk Mahkamah Agung sebagai
puncak peradilan, seharusnya independen, bebas, mandiri, dan tidak memihak.
Namun, pernah ada pikiran bahwa Mahkamah Agung wajib memberikan
pertanggungjawaban kepada MPR.
Yang paling parah, kedaulatan rakyat yang di manapun di
dalam sistem demokrasi senantiasa dipegang oleh rakyat dan tidak pernah
diserahkan sepenuhnya kepada orang lain atau cabang kekuasaan lainnya
(eksekutif, legislative dan yudikatif), di Indonesia masih saja dipersepsikan
seolah-olah dengan adanya lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka
MPR lah yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sehingga, rakyat tidak
lagi berdaulat, kecuali lima tahun sekali menyerahkan hak suaranya melalui
Pemilu kepada DPR/MPR.
Pikiran ini, menurut saya bukan saja feodal otoriter,
melainkan mencerminkan sisa-sisa paham integralistik. Maka, perlu dipikirkan
apakah lembaga MPR ini masih akan dipertahankan jika kita benar-benar ingin
kembali kepada asas kedaulatan rakyat yang sepenuhnya di tangan rakyat.
B.
Konteks dan Peran Konstitusi
Di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
dikemukakan secara tegas seperti tersebut pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan
“Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan Pasal 1 ayat (2) menyatakan
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang
Dasar”.
Negara hukum yang didasarkan atas kedaulatan rakyat tersebut
adalah dasar suatu sistem dari Pemerintah Negara Republik Indonesia yang
mempunyai tujuan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan ... dan keadilan sosial ...”
sesuai dengan pembukaan konstitusi.
Uraian di atas hendak menegaskan, negara hukum harus
didasarkan pada kedaulatan rakyat dan ditujukan untuk kepentingan perlindungan
segenap bangsa serta mewujudkan kesejahteraan. Konsep, kerangka teoritik, serta
prinsip negara hukum yang antara lain meliputi: asas legalitas, persamaan dalam
hukum, pembatasan kekuasaan, perlindungan hak asasi, peradilan yang bebas dan
tidak memihak seyogianya ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat.
Pada konteks itu, organ kekuasaan, termasuk kekuasaan
kehakiman tidak hanya dipersyaratkan harus merupakan kekuasaan yang bebas dan
tidak memihak saja, tetapi juga harus berpihak dan bertujuan untuk melindungi
kepentingan dari rakyat sang pemilik kedaulatan. Montesquieu sebagai French
Jurist di dalam The Spirit of the Laws (1748) mengemukakan ide
constitutionalism yang dihubungkan the separation of powers dalam kaitannya
dengan kekuasaan kehakiman menyatakan “... the judiciary should be independent
of the legislature and executive ...”.
C.
Reformasi Konstitusi
Jika dilakukan analisis dalam perspektif sejarah maka
setidaknya ada 3 (tiga) gelombang perubahan konstitusi yang pernah terjadi
dalam pembentukan konstitusi di dunia, yaitu misalnya antara lain:
- Pada periode kolonialisme. Pada kurun waktu tersebut, kekuatan dan sistem kekuasaan dari negara penjajah telah memaksakan kekuasaannya pada setiap negara jajahannya untuk menggunakan hukum yang berasal dan berpihak pada kepentingan penjajah. Inilah periode awal perubahan hukum di sebagian besar negara jajahan pada periode zaman penjajahan. Pada masa itu, tata hukum dan tata hubungan antarwarga negara dilakukan dengan menggunakan sistem dan hukum kekuasaan dari penjajah. Negara yang dijajah “dipaksa” untuk tunduk di bawah aturan konstitusi penjajah yang sebagiannya diatur secara eksepsional. Hak “bumiputera” berbeda dengan warga negara Belanda ataupun kaum ningratnya. Hal ini dapat dilihat dalam periode penjajahan Belanda atas Indonesia, ataupun negara-negara yang berada dalam penjajahan Inggris;
- Pada dekade sekitar tahun 1940 an. Pada periode ini terjadi perlawanan dari negara jajahan untuk membebaskan dirinya dari kekuasaan penjajah mulai terjadi dan sebagiannya berhasil mendeklarasikan pembebasannya menjadi negara yang merdeka. Dalam kurun waktu ini, terjadi perubahan konstitusi karena negara yang merdeka mulai melakukan reformasi konstitusinya agar sesuai dengan kepentingannya sendiri. Perubahan konstitusi ditujukan untuk memberikan “moral authority or legitimacy” pada awal kemerdekaan bangsa dimaksud guna membedakannya dari dan dengan konstitusi penjajahnya. Tentu saja, ada beberapa negara yang mendapatkan kemerdekaannya tidak melalui proses revolusi sehingga terjadilah proses adaptasi atau transplantasi sistem kekuasaan negara penjajah kepada negara jajahannya dengan berbagai modifikasi tertentu yang kemudian kelak dirumuskan dalam konstitusi. Hal ini dapat dilihat di hampir sebagian besar negara Commonwealth;
- Pada periode tahun 1990 an. Pada kenyataanya, di sebagian besar negara yang semula berhasil membebaskan dirinya dari kekuasaan kolonialisme secara perlahan berubah menjadi negara yang otoriter. Para penguasa yang semula diberikan mandat untuk menjalankan kekuasaan demi dan untuk sepenuh-penuhnya kepentingan rakyat telah menjadi kekuasaannya itu untuk kepentingan sendiri dan atau bersama kelompoknya saja. Penguasa dimaksud telah memegang kekuasaan selama 2 hingga 4 dekade serta mereka telah memberikan justifikasi munculnya gerakan masyarakat kritis yang akhirnya membesar menjadi gerakan sosial yang mempunyai tuntutan untuk membebaskan masyarakat dari kekuasaan otoriter. Negara yang mengalami proses revolusi dimaksud biasanya melakukan perubahan yang signifikan di dalam menata sistem kekuasaannya melalui perubahan konstitusi. Hal ini dapat dilihat di berbagai negara seperti: Korea Selatan, Afrika Selatan, Philipina, dan termasuk Indonesia.
D.
Perubahan Konstitusi dan Reformasi di Bidang Kekuasaan Kehakiman
Perubahan konstitusi biasanya mempunyai pengaruh terhadap
pola hubungan kekuasaan di antara organ kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman.
Secara umum, suatu konstitusi memuat prinsip yang menolak pemusatan kekuasaan.
Eric Barendt menyatakan “the principle is concerned with the avoidance of
concentration of power ... the each branch of goverment – legislature,
executive, and judiciary – is able to check and exercise of power by the others
...”.
Pada konteks perubahan konstitusi di Indonesia seperti telah
diuraikan di atas sesungguhnya perubahan dimaksud mempunyai pengaruh dan kaitan
erat dengan sistem kekuasaan kehakiman.
Uraian di bawah ini akan menjelaskan pengaruh dan kaitan
erat antara perubahan konstitusi dengan sistem kekuasaan kehakiman melalui
kajian pada rumusan yang tersebut dalam UUD Tahun 1945 sebelum dan pasca
amandemen dihubungkan dengan ajaran Trias Politika. Analisis juga mengkaji,
apakah sistem kekuasaan di Indonesia menganut pemisahan kekuasaan ataukah
pembagian kekuasaan. Berdasarkan telaahan tersebut baru kemudian akan
dihubungkan dengan sistem kekuasaan kehakiman.
Hal lain yang juga akan menjadi objek kajian adalah, problem
dan dinamika dalam penerapan kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD Tahun 1945
karena pada konstitusi amandemen, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta adanya lembaga Komisi Yudisial
yang menjadi bagian dari sistem kekuasaan kehakiman.
Ada 2 (dua) perdebatan utama dalam kaitan antara UUD 1945
dengan Trias Politika. Sebagian kalangan menyatakan bahwa UUD 1945 tidak
menganut sistem Trias Politika karena pada dasarnya organ negara tidak hanya
meliputi: legislatif, eksekutif, dan yudikatif saja. UUD 1945 sebelum amandemen
juga mengenal organ negara yang biasa disebut sebagai Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Pasca reformasi dan seperti tersebut di dalam amandemen
konstitusi dalam UUD Tahun 1945, kini ada beberapa organ negara lainnya
seperti: suatu lembaga bank sentral, suatu komisi pemilihan umum, alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban dan alat negara yang bertugas
mempertahankan, melindungi, memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
Ada pendapat lainnya yang menyatakan, rumusan UUD Tahun 1945
dapat dikualifikasi menganut ajaran Trias Politika karena organ negara
terpenting hanyalah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Organ negara
lainnya tidak disebut sebagai organ negara utama sehingga UUD 1945
dikualifikasi sebagai menganut ajaran Trias Politika.
Pasca amandemen UUD Tahun 1945, lembaga legislatif tidak
hanya meliputi: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) saja tetapi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga Yudikatif
tidak hanya menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi serta adanya lembaga yang disebut
sebagai Komisi Yudisial.
Kendati tidak menjadi salah satu perdebatan utama tetapi
acapkali diajukan pertanyaan, apakah sistem kekuasaan di Indonsia menganut
sistem kekuasaan yang didasarkan pada “pembagian” kekuasaan, ataukah “pemisahan
“ kekuasaan. Secara umum, ahli tata negara di Indonesia menganut pendapat yang
menyatakan bahwa sistem kekuasaan di Indonesia seperti dirumuskan di dalam
konstitusi adalah “pembagian” kekuasaan.
Jika pendapat di atas dikaitkan dan diletakkan dengan dan
dalam konteks kekuasaan kehakiman maka akan timbul pertanyaan, apakah kekuasaan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan yang didasarkan atas
pembagian kekuasaan ataukah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya.
Pada UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dikemukakan “kekuasaan
kehakiman dilakukan sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut
undang-undang”. Lebih lanjut dikemukakan “susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Ketentuan pasal di atas hanya menjelaskan, siapa yang
menjelaskan kekuasaan kehakiman dengan tetap membuka peluang adanya lembaga
lain yang juga dapat menjalankan kekuasaan kehakiman. Selain itu, rumusan pasal
di atas tidak secara tegas mengatur dan menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan lainnya karena susunan dan
kedudukannya diserahkan pengaturannya dengan undang-undang.
Pada situasi sedemikian, eksekutif dan legislatif mempunyai
potensi dan memiliki keleluasaan untuk manafsirkan dan merumuskan kekuasaan
kehakiman menurut interpretasinya sendiri dan/atau kekuasaan kehakiman yang
berpihak pada kepentingannya sendiri.
Ada perbedaan yang cukup tegas jika membandingkan rumusan
pasal kekuasaan kehakiman menurut UUD Tahun 1945 dengan konstitusi pasca
amandemen. Rumusan pasal yang dikemukakan di dalam UUD tahun 1945 pasca
amandemen menyatakan secara tegas “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal dimaksud menjelaskan sifat dan tujuan dari
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu: kekuasaan yang merdeka guna
menegakkan hukum serta keadilan. Frasa kata “kekuasaan yang merdeka” dalam
pasal tersebut memperlihatkan dan sekaligus menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah suatu kekuasaan yang terpisah dari cabang kekuasaan lainnya.
Pasal 24 ayat (2) juga telah mengemukakan, siapa
penyelenggara kekuasaan kehakiman karena pasal dimaksud menyatakan, kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Penyebutan yang tegas tentang siapa penyelenggara kekuasaan
kehakiman membuat kejelasan, siapakah lembaga yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman. Kendatipun demikian, konstitusi juga menyatakan “badan-badan lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam
undang-undang”.
Frasa seperti dikemukakan di atas akan menarik jika
dikaitkan dengan lembaga Komisi Yudisial yang dikemukakan secara eksplisit
didalam Pasal 24B UUD 1945. Tugas wewenang komisi mempunyai hubungan dan
berkaitan erat dengan lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman, yaitu:
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya serta Mahkamah
Konstitusi. Tugas dan wewenang dimaksud adalah: kesatu, mengusulkan
pengangkatan hakim agung; dan kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pertanyaan yang perlu diajukan untuk mendapatkan kajian,
apakah Komisi Yudisial dapat dikualifikasi sebagai salah satu badan dari
kekuasaan kehakiman? Ketentuan yang mengatur perihal Komisi Yudisial berada di
dalam Bab IX, Kekuasaan Kehakiman UUD Tahun 1945; ataukah, Komisi Yudisial
adalah sebuah badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sesuai
dengan rumusan wewenangnya seperti telah dikemukakan di atas.
Jika diasumsikan bahwa Komisi Yudisial sebuah badan yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dengan wewenang tertentu, pertanyaan
lainnya yang perlu diajukan, apakah konstitusi memberikan legitimasi pada
undang-undang untuk merumuskan tata cara dan mekanisme kerja pelaksanaan
wewenang tersebut di dalam suatu undang-undang?
Pada Pasal 24B ayat (4) UUD Tahun 1945 dikemukakan “susunan,
kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”. Jika
berpijak secara rigid dari apa yang dikemukakan di dalam konstitusi maka pasal
dimaksud menjelaskan bahwa yang perlu dirumuskan di dalam sebuah undang-undang
berkaitan dengan Komisi Yudisial adalah mengenai susunan, kedudukan, dan
keanggotaan komisi tetapi tidak dikemukakan agar diatur hal yang berkaitan
dengan tata cara dan mekanisme kerja serta pelaksanaan wewenang komisi atau
mengenai hal lainnya di dalam suatu undang-undang.
Jika interpretasi rigid yang sangat legalistik itu digunakan
maka Komisi Yudisial tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya karena
konstitusi tidak cukup mengatur pelaksanaan tugas dan wewenang komisi.
Seyogianya ada undang-undang yanag mengatur tata cara, mekanisme pelaksanaan
tugas, dan wewenang Komisi Yudisial agar tidak terjadi benturan dan bahkan
konflik dengan lembaga kekuasaan kehakiman lainnya. De facto, materi dan
mekanisme pengawasan masih belum dapat diselesaikan secara “tuntas” antara
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat dikemukakan
beberapa hal, yaitu sebagai berikut:
- Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan konstitusi dan di setiap perubahan konstitusi dimaksud terjadi perubahan rumusan pasal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari fakta perubahan pasal dan bagian kekuasaan kehakiman antara yang dirumuskan di dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen dan pasca amandemen;
- Perubahan rumusan pasal seperti tersebut di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen, seperti dirumuskan dalam Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B dan Pasal 24C memperlihatkan adanya perbaikan rumusan pasal yang mempunyai tujuan untuk menjadikan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan;
- Perbaikan lain yang dirumuskan dalam UUD Tahun 1945 meliputi: kesatu, menjelaskan siapa saja yang melakukan kekuasaan kehakiman; kedua, apa saja wewenang dari Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial; ketiga, adanya perntah untuk merumuskan susunan, kedudukan dan keanggotaan diatur di dalam undang-undang; keempat, hukum acara dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi juga diminta untuk diatur di dalam suatu undang-undang;
E. Gagasan Perubahan Konstitusi dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman
Kendatipun telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan
dalam pengaturan hal ichwal kekuasaan kehakiman di dalam UUD tahun 1945 pasca
amandemen, masih ditemukan beberapa hal lainnya yang dapat mengakibatkan tidak
dapat dilaksanakannya kekuasaan kehakiman secara terhormat dan bermartabat
dengan akuntabilitas yang tinggi.
Publik telah mengetahui dan mahfum bahwa pada periode Orde
lama dan Orde Baru ada masalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman
berkenaan dengan intervensi kekuasaan dan kepentingan politik serta eksekutif.
Ada beberapa fakta yang senantiasa diajukan oleh sebagian
publik untuk mendukung alasan dan argumentasi tuntutannya yang secara sepihak,
yaitu dengan menyatakan antara lain:
- Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan belum sepenuhnya dapat diterapkan secara absolut. Tunggakan perkara belum dapat diselesaikan secara tuntas, di samping begitu banyaknya jumlah perkara yang diterima oleh Mahkamah Agung untuk diselesaikan. Fakta ini berbanding terbalik dengan proses yang terjadi di Mahkamah Konstitusi yang sudah menerapkan prinsip sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam menangani perkara-perkara yang menjadi tugas dan wewenangnya;
- Publik belum secara luas bisa mendapatkan akses infomasi terhadap proses dan tahapan peradilan dari suatu perkara yang diajukannya, khususnya di tingkat banding dan kasasi. Tidak jelasnya tahapan proses dan waktu penyelesaian perkara membuat para justiabel menjadi “gamang” dan bertanya-tanya, apakah kasusnya sedang atau sudah ditangani oleh pengadilan, baik pada tingkatan banding maupun mahkamah. Di sisi lainnya, mahkamah juga telah mengeluarkan Surat Edaran yang mengatur tentang akses informasi;
- Proses peradilan yang memungkinkan belum dapat diwujudkan peradilan yang bersih dengan akuntabilitas yang tinggi. Pada saat ini, mahkamah dan pengadilan di bawahnya mempunyai keleluasaan untuk menggunakan kewenangannya secara bebas. Independensi yang absolut tanpa disertai kontrol yang baik tidak akan menghasilkan akuntabilitas, bahkan potensial memunculkan potensi abuse of power;. Secara umum hendak dikatakan bahwa hal yang paling subtil dari kekuasaan kehakiman adalah adanya jaminan kekuasaan yang merdeka dalam menjalankan kekuasaan peradilan. Tidak ada kekuasaan kehakiman jika independensi dalam menjalankan wewenangnya “dirampok” atau mudah “diintervensi”. Periode Orde lama dan Orde Baru menjadi menjadi pelajaran penting ketika kekuasaan kehakiman dijadikan bagian dari kepentingan kekuasaan revolusi dan/atau Presiden punya kekuasaan untuk menentukan siapa yang dapat menjadi hakim agung dan ketua Mahakamah Agung.
- Ada beberapa putusan pengadilan yang mendapat sorotan publik karena bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Bandingkan saja, putusan yang menyangkut nenek Minah, Jaksa Esther yang menggelapkan barang bukti narkoba dan putusan Gayus Tambunan yang divonis bebas padahal diketahui meneriuma gratifikasi hampir sekitar 25 miliar rupiah. Sebalikya juga ada putusan yang diapresiasi publik, seperti putusan dalam kasus Prita Mulyasari.
- Adanya sinayaelemen yang diajukan aktivis anti korupsi yang mensinyalir adanya tendensi putusan pengadilan dalam kasus-kasus korupsi yang hukumannya ringan dan bahkan sebagiannya dibebaskan. ICW merilis berita bahwa putusan dengan hukuman percobaan, sanksinya ringan dan malah dibebaskan;
Berbagai uraian yang dikemukakan di atas memperlihatkan
tantangan lain yang kini muncul yang ditengarai dapat mengakibatkan tidak dapat
dilaksanakannya kekuasaan kehakiman secara terhormat dan bermartabat dengan
akuntabilitas yang tinggi guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pada akhirnya, tantangan dimaksud muncul dari berbagai fakta
dalam penerapan kekuasaan kehakiman telah dinilai masyarakat bahwa peradilan
belum sepenuhnya dapat ditegakkan sesuai dengan tujuan dari kekuasaan kehakiman
yaitu menegakkan hukum dan keadilan.
Jika fakta di atas dikaji secara mendalam maka perlu
diajukan suatu pertanyaan kritis, apakah fakta penerapan proses peradilan di
atas adalah problem penegakan hukum, dan tidak berkaitan langsung dengan
rumusan pasal yang telah dikemukakan di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen?
Begitupun halnya dengan adanya fakta yang menegaskan,
independensi yang absolut ternyata potensial menciptakan penyalahgunaan
kekuasaan atau abuse of power seperti telah dikemukakan di atas.
Ketidakprofesionalan, kesengajaan melakukan tindakan koruptif, dan
kesewenang-wenangan dapat berlindung di balik independensi sehingga tidak hanya
merugikan para justiabel saja, tetapi juga merusak martabat dan kehormatan
hakim dan kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Itu sebabnya pertanyaan yang perlu diajukan dengan adanya
diskursus publik dan adanya tuntutan yang kian menguat, apakah independensi
harus dilekatkan dan diletakkan juga dalam prinsip akuntabilitas sehingga
kekuasaan kehakiman seyogianya sebagai kekuasaan yang merdeka dan akuntabel.
Independensi harus ditegakkan sebagai satu sisi koin mata
uang yang disertai akuntabilitas pada sisi lainnya. Hal itu dimaksudkan agar
independensi yang disertai akuntabilitas dapat secara signifikan meminimalisasi
suatu potensi yang menyebabkan terjadinya anarkisme dan tindakan koruptif.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka ada kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas kekuasaan kehakiman. Salah satu cara yang tersedia adalah
melakukan amandemen konstitusi dan untuk itu diusulkan beberapa hal, yaitu:
- Konstitusi harus merumuskan secara tegas dan jelas prinsip akuntabilitas. Prinsip dimaksud menjadi prinsip yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan prinsip independensi. Terbuka peluang untuk menegaskan perlunya prinsip profesional, jujur, dan adil sebagai prinsip dasar dalam menjalankan kekuasaan kehakiman karena penyelenggaraan pemilu saja sesuai konstitusi harus dilakukan secara jujur dan adil selain langsung, umum, bebas dan rahasia apalagi bila melaksanakan kekuasaan kehakiman.
- Komisi Yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman. Apakah Komisi Yudisial hendak diletakkan sebagai salah satu badan dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi pengawasan, selain tugas dan wewenang lainnya yang dirumuskan; ataukah, Komisi Yudisial hanyalah sebuah badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman saja;
- Konstitusi seyogianya mengatur prinsip mekanisme pelaksanaan wewenang dari lembaga yang berada di dalam kekuasaan kehakiman, yaitu di antara Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Misalnya saja, apakah Komisi Yudusial juga punya wewenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim konstitusi; dan apakah pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial di atas hanya dengan fokus di bidang etik dan perilaku yang tidak berkaitan langsung dengan pelaksanaan kewenangan mengadili ataukah pada hal-hal tertentu dapat “masuk”.
F.
Komisi Konstitusi
Mengingat banyaknya permasalahan yang sifatnya mendasar,
maka dalam proses perubahan UUD tidak dapat dilakukan secara parsial. Apalagi
dengan memakai pendekatan praktis pragmatik. Melainkan, perlu pemikiran yang
jernih, utuh, dan menyeluruh, dengan sejauh mungkin melepaskan atau mengambil
jarak dari kepentingan-kepentingan politik sempit jangka pendek.
Untuk keperluan itu, amat perlu dan mendesak dibentuknya
suatu Komisi Konstitusi oleh MPR berdasarkan kewenangannya, dengan perlu
menggunakan amandemen terhadap Pasal 37 UUD 1945. MPR mendelegasikan
wewenangnya kepada komisi untuk merancang suatu draf komprehensif UUD yang baru
untuk disampaikan kepada sidang MPR tahun 2003. Hasilnya, dapat disahkan oleh
MPR atau jika MPR tidak menyetujuinya, maka diserahkan kepada rakyat melalui
referendum.
Untuk keperluan pembentukan Komisi Konstitusi tersebut di
atas, sesuai dengan Pidato Kenegaraannya beberapa waktu lalu di hadapan DPR
(Agustus 2001), Presiden Megawati hendaknya mengajukan secara resmi usul
pemerintah kepada MPR pada sidang tahunan MPR pada November 2001 untuk
dibicarakan dan ditetapkan oleh MPR.
DAFTAR PUSTAKA
Carl
Schmitt, Constitutional Theory, Duke University Press, 2008.
Eric
Barendt, An Introduction to Constitutional Law, Oxford University Press Inc.,
1998.
Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,
2005.
Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional, Kuasa konstitusi, KRHN, 2004.
Krisna
Harahap, Konstitusi republik Indonesia: Sejak Proklamasi hingga Reformasi,
Grafitri, 2004.
Larry
Alexander (ed), Constitutionalism: Philosophical Foundations, Cambridge
University Press, 1998, First Published.
MJC
Vile, Constitutionalism and the Separation of Powers, Oxford, 1967.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar