BAB IV
KEKETUAAN, KEKEPALAAN
KEKETUAAN, KEKEPALAAN
DAN KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN
A.
Keketuaan
Ketua
secara etimologis yaitu orang yang tertua dan banyak mempunyai pengalaman.
Dalam konteks organisasi ketua merupakan jabatan dan atribut yang diberikan
warga masyarakat kepada orang yang dituakan atau pinisepuh. Untuk itu orang
menduduki jabatan sebagai ketua yaitu orang yang memiliki "potensi"
baik fisik maupun psikis. Secara fisik is memiliki kekuatan Super Action dalam
bentuk kekuatan dan kedigjayaan. Sedangkan kemampuan psikis atau sexing disebut
potensi Super Human, seorang ketua memiliki ciri dan atribut kemampuan
mengendalikan diri, kemampuan membimbing orang lain, mampu memimpin rapat dan
seterusnya yang karena itu dasarnya kepandaian, keterampilan dan kearifan.
Organisasi
kemasyarakatan menempatkan posisi, ketua sebagai lambang dan atribut yang
mengkristal dalam status sosial bagi seseorang, seperti ketua RT, RW, Karang
Taruna, PKK, LPMD, BPD. Namun secara kontekstual atribut ketua digunakan pada
lembaga-lembaga sosial dan kegiatan-kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan
secara crash program dan insidenytal seperti antara lain; Ketua
penyambutan pejabat, Ketua Panitia Institusi Pemerintahan dalam menyambut Hari
Ulang Tahun Kemerdekaan, pelantikan, dan seterusnya.
Penggunaan
istilah lebih fleksibel artinya dapat digunakan dalam lingkungan organisasi
formal maupun non formal. Pada organisasi formal legiun digunakan istilah Ketua
DPR, Ketua MPR, Ketua KPK, Ketua DPD, Ketua MK, Ketua Komisi Yudisial dan
ketua-ketua lembaga tinggi negara lainnya. Di samping itu, Bering juga digunakan
istilah Ketua Sekolah Tinggi. Sedangkan secara non formal ketua legiun
digunakan dalam istilah Ketua Forum Pemuda, Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia, Ketua Dharma Wanita, Ketua Majelis Takl m, Ketua Forum Putera-Puteri
Purnawirawan, Ketua Warakawuri, Ketua Paguyuban dan seterusnya. Dalam konteks
itu dapat dipahami bahwa istilah ketua yaitu orang yang dituakan tidak sematamata
umur, melainkan kaya akan ilmu, pengalaman hidup, keterampilan dan berbagai
kelebihan sikap dan perilaku yang dimiliki dalam konteks kehidupan
bermasyarakat.
Semula
dasar ditunjuknya seseorang menjadi ketua karena umur, pengalaman, keturunan,
kekayaan dan karya nyata. Namun saat ini lebih pada beban tugas dan spesifikasi
pekerjaan. Dalam konteks itu ada pergeseran dari sistem nilai tradisional ke
sistem nilai formal yang "sarat" akan nilai-nilai realitas pragmatis
dan rasional dengan berbagai kompetensi yang menuntut keterampilan dan
kecerdasan bagi seseorang yang menjabat sebagai ketaa, seperti Ketua Kamar Dagang
dan Industri Indonesia, berbagai Asosiasi-asosiasi Pedagang, Retail, Asosiasi
Lembaga Bantuan Hukum, Persatuan Guru Republik Indonesia, Ikatan Dokter
Indonesia dan seterusnya. Kesemua itu menuntut keahlian dan keterampilan khusus
sebagaimana yang ditentukan institusi sosial kemasyarakatan tertentu.
B. Kekepalaan
Kekepalaan secara
etimologis berasal dari kata "kepala" yang berarti bagian tubuh
manusia yang di atas ieher. Sedangkan jika diberi awalan dan akhiran menjadi
kekepalaan, seperti halnya kepala manusia yang menjadi pusat dan pengontrol
seluruh tubuh manusia, sedangkan dalam konteks administrasi berarti memimpin
atau mengepalai bagian-bagian administrasi yang menjadi tugas dan tanggung
jawabnya.
Kekepalaan dibingkai
melalui sistem nilai formal yang menjadi dasar bagi ritme kehidupan seorang
kepala, dari mulai pelantikan, pelaksanaan pekerjaan sampai berhenti menjadi
kepala. Ndraha (2009:4-5) setiap organisasi pasti mempunyai kepala (selected
and elected) tetapi belum tentu memiliki pemimpin. Seorang bisa kehilangan
dan juga bisa memiliki kepemimpinan. Pemimpin yang juga kepala disebut pemimpin
formal, sedangkan pemimpin yang tidak mengepalai disebut pemimpin informal.
Kondisi tersebut dapat dilihat dalam bentuk dan kegiatan dari Kepala Desa,
Kepala Daerah Kabupaten, Kepala Daerah Provinsi, Kepala Lembaga Non Departemen,
Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Kepala Kepolisian, Kepala Badan Intelijen
Negara, Kepala-kepala Dinas Kabupaten, Kota dan Provinsi, Kepala Kementrian,
Kepala Perserikatan Bangsa-Bangsa karena itu is memiliki ciri dan karakteristik
sesuai dengan beban dan tanggung jawab yang menuntut bagi seorang kepala untuk
melaksanakan tugas dan fungsi sebagai seorang pemimpin.
Ndraha (2003:214)
menjelaskan bahwa kepemimpinan dan kekepalaan masing-masing memiliki satu set
sistem nilai. Kekepalaan mempunyai sistem nilai kekuasaan, otoritas, perintah,
kekuatan, paksaan, dan kekerasan. Sedangkan kepemimpinan mempunyai sistem
nilai: usia, status sosial, kepandaian, gelar, keterampilan, senioritas,
kekuatan fisik, kekayaan, keteladanan, moralitas, disiplin, pendirian, pengorbanan,
pengalaman, kearifan, kerjasama, kebersamaan, dan keterbukaan. Pada posisi
tersebut seseorang dapat kehilangan kepemimpinan jika is tidak mampu
mempengaruhi orang lain dengan sistem nilai sosial termasuk sistem nilai
kepemimpinan dan kekepalaan.
Sistem nilai merupakan
piranti yang kuat bagi eksistensi dan legitimasi seorang pemimpin. Di samping
itu, sistem nilai juga mengandung nilai-nilai superioritas yang tinggi antara
lain kekuaaan, usia, kekayaan, status seseorang dan penampilan fisik yang dapat
melindungi kepentingan-kepentingan yang dipimpin atau masyarakat. Substansi
semua itu merupakan kekuatan bagi performance seorang pemimpin yang
sarat akan nilai-nilai dan etika kepemimpinan.
Teori
kepemimpinan dalam analisis penulis ungkap antara lain: kepemimpinan sebagai
kreativitas dan mengarah untuk terus berubah (Bennis & Nanus, 2003:3),
adanya hubungan tertentu dalam hubungan antara due orang atau lebih (Hollander,
1978), pengarahan dan pengkoordinasian anggotaanggota kelompok kerja (Fiedler,
1967), suatu hubungan antar kepercayaan, integritas, standar, ketegasan,
keteguhan, optimisme, prestasi, visi, dan kewibawaan. Untuk itu, sebagaimana
dikemukakan Grote (2002:11) bahwa managers can't discriminate on the basic
of race, sex, age and other illegal considerants. Its performance are biased
process; seorang pemimpin menilai staf harus obyektif tidak berdasarkan
ras, jenis kelamin, usia dan pendidikan, karena hal tersebut merupakan bentuk diskriminasi.
C. Kepemimpinan Pemerintahan
Kepemimpinan
pemerintahan merupakan suatu kemampuan pemerintah (government) untuk
melakukan komunikasi, interaksi dan pengaruh terhadap masyarakat terutama dalam
penyediaan produk jasa dalam layanan publik (public service) dan layanan
sipil (civil service). Ndraha (2003:226) menegaskan bahwa konsep
kepemimpinan pemerintahan terdiri dari dua (sub) konsep yang hubungannya satu
dengan yang lain, tegang, yaitu konsep kepemimpinan bersistem sosial dan konsep
kepemimpinan pemerintahan yang bersifat formal.
Konsep
kepemimpinan pemerintahan tidak saja bersistern nilai formal yang terikat oleh
tataran hukum bersifat formal namun kepemimpinan juga bersandar pada sistem
nilai sosial menunjukkan bahwa kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
mempengaruhi orang lain tidak terlepas dari sistem nilai budaya yang dimiliki
termasuk kepercayaan dan adat-istiadat. Sedangkan konsep kepemimpinan
pemerintahan yang mengandung sistem nilai formal adalah bersumber pada
kewenangan rasional yang dihadapkan pada berbagai tugas dan kewajiban serta
tuntutan situasi dan perubahan yang cepat dan dituntut untuk berperan sesuai
dengan status yang melekat untuk mencapai suatu tujuan melalui atau menggunakan
kekuasaannya.
Dua
konsep yang lahir dari sumber yang sama yaitu kepentingan, kekuasaan dan
kewibawaan yang diterapkan dalam mengendalikan proses kegiatan kepemimpinan
yang melahirkan corak dan gaya kepemimpinan pemerintahan yang cenderung
otokratis maupun demokratis yang ditampilkan seseorang dalam kehidupan
sehari-hari dan corak tersebut lazim disebut gaya.
Gaya
kepemimpinan pemerintahan yang otokratis banyak dilakukan oleh birokrat yang
berlatar belakang militer, dulu dengan nama Dwi Fungsi ABRI atau kekaryaan yang
memiliki jiwa dan dedikasi kuat sehingga menampilkan sosok yang keras atau
disiplin yang tinggi. Sementara itu kondisi pemerintahan yang demokratis banyak
dimiliki oleh seorang birokrat yang menjujung tinggi partisipasi aktif dan
kerja sama staf dalam mencapai hasil pekerjaan yang dilakukan dan di dalam
instansi pemerintahan.
D. Tipe Kepemimpinan
Kepemimpinan
tidak terlepas dari tipe kepemimpinan. Secara umum tipe kepemimpinan
dikemukakan oleh O'leary, (2001:18-22) sebagai berikut:
1) Kepemimpinan
Diktator, ciri-cirinya antara lain
tidak diperkenankan bertanya, pengetahuan adalah kekuatan dan tidak boleh ada
kesalahan.
2)
Kepemimpinan Demokratis, cirinya
antara lain partisipasi, mendorong perdebatan, dan kebebasan memveto.
3)
Kepemimpinan tipe Kemitraan, ciri-cirinya
antara lain kesejajaran, visi kelompok, dan berbagi tanggungjawab, dan
4)
Kepemimpinan Transformasional ciri-cirinya
antara lain: kharisma, keyakinan, rasa hormat dan pengabdian, pujian terbuka,
dan inspirasi. Sedangkan Siagian menjelas kan tipe-tipe kepemimpinan yang
sudah populer yaitu kepemimpinan otokratik, paternalistik, kharismatik, laissez
faire, dan demokratik.
Sedangkan
Siagian (1999:31-33) menjelaskan karakteristik kepemimpinan antara lain:
pemimpin yang otokratik adalah seorang pemimpin yang sangat egois sehingga
kadang memutarbalikkan fakta yang sebenarnya sehingga sesuai dengan apa yang
secara subyektif diinterpretasikan sebagai kenyataan. Pemimpin yang
paternalistik adalah pemimpin yang banyak terdapat dalam lingkungan yang masih
bersifat tradisional, umumnya pada masyarakat agraris. Popularitasnya pemimpin
paternalistik ditentukan oleh kuatnya ikatan primordial, extended farrdliy
system, kehidupan masyarakat yang komunalistik, peranan adat-istiadat yang
sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat, dan masih dimungkinkan hubungan
pribadi yang intim antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat
lainnya.
Pemimpin
yang kharismatik adalah pemimpin yang banyak diikuti meskipun para pengikut itu
belum tentu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu
dikagumi. Sedangkan pemimpin laissez faire dalam menyelenggarakan
kepemimpinannya bertolak pada filsafat hidup bahwa manusia pada dasarnya
memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada
sesama dan kepada organisasi. Sementara itu, tipe pemimpin demokratik adalah
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, bahwa kebutuhan manusia tidak
terbatas hanya pada kebutuhan yang bersifat kebendaan. Nilai-nilai tersebut
berarti bahwa seorang pemimpin yang demokratik memperlakukan organisasi sebagai
wahana untuk mencapai tujuan manusia yang secara bersama hidup dalam naungan
organisasi dengan arahan dan petunjuk seorang pemimpin.
Sejalan
dengan itu, pandangan tipe kepemimpinan dikemukakan Kartono (2003:29-30) bahwa
pimpinan itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian
sendiri yang unik dan khas, sehingga tingkah laku dan gayanyalah yang
membedakan dirinya dari orang lain. Tipe tersebut dapat dibedakan ke dalam
delapan kelompok antara lain, tipe deserter (pembelot), tipe birokrat, tipe
misionaris, tipe pembangun, tipe otokrat, tipe otokrat yang baik, tipe kompromis
dan tipe eksekutif. Berbagai tipe kepribadian seorang pemimpin pada hakekatnya
merupakan upaya untuk mempengarahi orang lain, mengingat setiap orang memiliki
variasi karakternya yang berbeda dan perbedaan tersebut dapat tersalurkan
melalui tipe-tipe kepemimpinan yang ditampilkan seorang pemimpin dalam
lingkungan fisik, sosial dan budaya setempat dan tampilan atau performance tersebut
sebagai upaya mempengaruhi orang lain atau pengikutnya.
Implementasi
gaya dan tipe kepemimpinan di atas tidak terlepas dari lima hal penting.
Dwijowijoto (2001:287-288), mengemukakan adanya lima hal tersebut dalam suksesi
kepemimpinan di Indonesia, yaitu Pertama, setiap suksesi akan membawa
krisis politik, kedua, setiap perubahan harus bersifat konstitusional, ketiga,
kepada seluruh bangsa agar tidak menciptakan kondisi kritis (apalagi
revolusi) dalam setiap suksesi, keempat, masyarakat dan elite politik
harus mampu menghilangkan budaya politik "Singasari-Mataram" yaitu
kebisaaan menghabisi putera mahakota, 4an kelima, untuk menjadi pimpinan puncak
seperti presiden dan wakil presiden calon yang bersangkutan secara politik
partainya harus menjadi pemenang dalam pemilihan umum.
BAB
V
BUYUT - PEMIMPIN DESA ZAMAN MAJAPAHIT
BUYUT - PEMIMPIN DESA ZAMAN MAJAPAHIT
Kepala
pedukuhan atau desa Majapahit yaitu Sang Ramawijaya (1293). Beliau merupakan
sosok pimpinan yang mampu memberikan semangat kepada masyarakat pendatang
terutama dari Sumenep, Tumapel dan Daha serta daerahdaerah di sekitar desa
Majapahit. Kondisi tersebut terus berkembang sejalan dengan meningkatnya
aktivitas Desa Majapahit di satu sisi dan berubahnya Majapahit menjadi
berbagai pusat kegiatan pemerintahan yang baru. Lahirnya Majapahit merupakan
basil dari tiga konspirasi politik yaitu pertama, konspirasi antara Raden
Wijaya dengan Pangeran Aria Wiraraja dari Sumenep, kedua, konspirasi
Raden Wijaya dengan tentara Mongol yang dikirim oleh Kubilai Khan dari Mongolia
dan ketiga, konspirasi dengan salabat dan masyarakat simpatisan Raja
Kertanegara, ayahanda Raden Wijaya. Konspirasikonspirasi itu melahirkan
pilar-pilar kekuatan untuk mempercepat lahirnya Majapahit. Pilar-pilar
tersebut menurut Suwarno (1989:18) menjadi integrasi Majapahit yang diikat oleh
kekuatan religio-magis, tali kekeluargaan, kekuatan militer dan upeti
atau pajak.
Kekuatan
Teiigio-magis dipersonifikasikan melalui jatidiri sebutan dan gelar raja sang
Ramawijaya yang mengambil nama Abiseka Kertarajasa Jaya Wardana. Nama
tersebut terdiri dari io suku kata yang dapat dipecah menjadi empat kata yakni:
Kerta, Rajasa, Jaya, Wardana. Unsur Kerta mengandung arti bahwa
raja memperbaiki pulau Jawa dari kekacauan yang diciptakan oleh
penjahat-penjahat yang menyengsarakan rakyat. Rajasa mengandung arti
mengubah suasana gelap menjadi terang. Oleh karena itu raja dianggap sebagai
matahari yang menyinari bumi. Jaya mengandung arti bahwa raja mempunyai
kekuatan dan kedigdayaan dengan lambang senjata tombak berujung mata
tiga (trisula) karena senjata itu segenap musuh hancur lebur. Sedangkan wardana
berarti raja menghidupkan segala agama, melipatgandakan hasil bumi terutama
pada untuk kesejahteraan rakyat (Megandaru, 2006:142).
Raja
mempunyai kekuasaan yang menyeluruh dan mutlak terhadap para kawulanya. Kawula
harus tunduk pada gustinya termasuk pada Patih, Demung, Kanuruhan,
Rangga, Tumenggung dan keluarga serta kerabat kerajaan lainnya yang
bertindak atas nama raja maupun status yang melekat karena geneologis, bawaan,
keturunan maupun karena perekonomian.
Struktur
pemerintahan Majapahit pada masa Hayam Wuruk telah mencerminkan keteraturan dan
pembagian tugas yang jelas, struktur pemerintahan mencerminkan adanya kekuatan
yang bersifat teritorial dan disentralisasikan dengan birokrasi yang
terperinci. Hal ini karena adanya pengaruh kepercayaan yang bersifat kosmogenis. Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa
memegang otoritas politik tentinggi dan menduduki puncak hirarki kerajaan.
Pembagian
tugas yang jelas bagi pejabat kerajaan memungkinkan kontrol dari raja cukup
efektif terutama dalam menentukan siapa dan
duduk sebagai apa. Suwarno (1989:17) menegaskan bahwa pembagian tugas
para pejabat beserta persyaratan dan tingkah lakunya sudah ditentukan secara
tertulis dalam Nawannatya yang memuat tentang Raja Kapakapa untuk pejabat pusat, dan Rajapatigundala untuk pejabatpejabat
daerah beserta aturan-aturan lain tentang pertanahan. Kejelasan akan tugas dan
fungsi dalam mengendalikan organisasi pemerintahan kerajaan sebagaimana
diungkap Suganda (i995:35) tercermin sebagai berikut:
1) Eksekutif;
a)
Raja, prabu
atau ratu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
b)
Patih amangkubumi yang
memimpin dan mengkoordinasikan semua pembesar kerajaan
c)
Rakrian yang
terdiri atas;
-
Mantri
Katrini yaitu Mantri Hino,
Mantri Hulu dan Mantri Sirikan,
-
Pasungguhan
yang dapat dianggap sebagai Hulubalang (panglima) yang terdiri atas dua jabatan yaitu Pranajaya dan Nayapati,
-
Sang
Pancawilwatikta yaitu para Patih wilayah taklukan, Juru Pengalasan yaitu para
pembesar wilayah, Demung, Kanuruhan dan para Tumenggung.
d) Arya,
golongan
ini kedudukannya lebih rendah dari Rakrian terdiri atas 8 jabatan,
yakni: Sang Arya Pati pati, Sang Arya Wangsa pranata, Sang Arya JayaPati,
Sang Arya Rajaparakrama, Sang Arya Suradirjha, Sang Arta Rajadhirja,
Sang Arya Dewaraja, dan Sang Arya Dhiraraja.
2) Penasehat;
Penasehat
terdiri atas keluarga dekat raja, beranggotakan tujuh orang karena itu disebut dengan Sapta Prabu (sekarang sama dengan
Dewan Per,timbangan Agung). Biasanya yang menjadi penasehat adalah Permaisuri,
Putera Mahkota, Mertua Raha dan kedua orang tua raja. Keputusan raja yang
menyangkut masalah penting biasanya dimusyawarahkan dengan memperhatikan
nasehat Sapta Prabu ini.
3) Yudikatif;
Yudikatif disebut juga golongan Dang Acarya, yang
dikenakan
kepada para pendeta Syiwa dan Budha, yang diangkat sebagai Dharmadhyaksa yaitu hakim biasa. Seorang halam untuk mereka
yang beragama Syiwa dan seorang lagi untuk yang beragama Hindu.
Pada
tataran Rakriyan terutama Sang Pancawilwatikta (patih
wilayah taklukan), Juru Pengalasan termasuk Demung, Kanuruhan, Rangga
dan para Tumenggung memiliki akses yang kuat terhadap desa.
Megandaru, (2oo6a87) mengemukakan bahwa pembesar-pembesar tersebut banyak
dikunjungi oleh pembesar-pembesar negara bawahan atau daerah. Apa yang
-direncanakan di pusat dilaksanakan di daerah termasuk desa sebagai obyek
kebijakan pemerintah kerajaan.
Hubungan
dan tata aturan kinerja pusat kerajaan dengan pemerintah termasuk Akuwu dan
Buyut desa termuat dalam peraturan perundang-undangan yang
disebarluaskan kepada rakyat lewat pejabat-pejabat pusat dan daerah. Mereka
yang terdiri dari Mantra, Tanda, Gusti, Mantra Akuwu, Juru Buyut, Ksatria
dan Wiku Haji yang dilaksanakan setiap bulan Caitra (Maret-April),
mereka dikumpulkan dalam perayaan kerajaan tahunan dan mendengarkan bacaan
ajaran Raja Kapa-kapa dan Rajapatigundala yang mengatur kehidupan
semua pejabat dan semua orang baik di pusat maupun di daerah, termasuk
hubungannya dengan tanah, yang sangat penting untuk sumber penghidupan orang
seluruh Negara
BAB VI
BEKEL - KEPEMIMPINAN DESA ZAMAN MATARAM ISLAM
BEKEL - KEPEMIMPINAN DESA ZAMAN MATARAM ISLAM
Pemerintahan
kerajaan Mataram sebagai negara agraris Mataram memainkan peranan penting dalam
mengendalikan padi. Untuk itu sejalan dengan politik ekspedisi dan ekspansi
Mataram terus melakukan langkah strategis yaitu optimalisasi hasil-hasil pajak
melalui para bekel dan kerajaan melakukan kegiatan berkesinambungan
yaitu monopoli perdagangan beras. Keduanya secara prinsip dilakukan untuk mengisi kas dan berputarnya roda
pemerintahan.
Bekel
di
zaman Mataram Islam merupakan sebutan untuk kepala desa. Proses pemilihan bekel ditunjuk, diangkat dan ditetapkan oleh raja (Sutardjo, 1984:45). Kepala
desa yang dipilih atas dasar keturunan atau karena hubungan darah dengan pihak
keraton merupakan bentuk intervensi kerajaan terhadap desa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa desa sudah mulai disentuh menurut selera dan kemauan
pemerintah kerajaan. Tugas dan fungsi bekel yaitu menjaga keamanan,
ketentraman dan ketenangan warga desa. Fungsi utama bekel adalah
mengakses pajak untuk kepentingan pemerintah kerajaan. Bekel menjadi
alat dan sarana utama dalam melaksanakan kekuasaan raja dan untuk
mempertahankan dan melindungi keutuhan raja. Raja tidak segan-segan untuk
memecahkan atau memisahkan desa menjadi beberapa desa dengan konsekuensi
politis bahwa desa tidak boleh lebih besar dan hebat dari kerajaan. Muara
kesemua itu yaitu kemantapan dan kestabilan kedudukan raja.
Soemarsaid
(1985:5) mengemukakan bahwa: Negara adalah lembaga, tempat raja memiliki
dan mempertahankan kekuasaannya atas semua orang dan barang. Karena itu tidak
heran jika negara dianggap sebagai citra tata alam raya, tempat para dewa
mempunyai kekuasaan mutlak. Kemiripan skematis antara alam semeseta dengan
negara dianggap sebagai kesamaan dan ini mempuryai tujuan ganda, pertama, bila
keduanya identik maka yang satu dapat menjamin keselamatan yang lain dan kedua,
secara politis paling penting kesamaan itu berfungsi untuk memantapkan
kekuasaan raja atas kawulanya.
Bekel
sebagai
kepanjangan raja diarahkan untuk dapat mandiri. Soemarsaid (iq85ao6)
mengemukakan bahwa negara juga menganut kebijaksanaan memperbolehkan desa
sedikit banyaknya berswasembada, khususnya dalam bidang keamanan.
Kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dengan membentuk tanggung jawab kolektif
untuk beberapa kejahatan dan tindakan-tindakan ilegal lainnya. Swasembada
merupakan prinsip pokok dalam pembiayaan negara. Sistem keuangan kerajaan
Mataram Islam dapat disebut pembiayaan gaji karena dari imbalan yang
diteriananya dalam bentuk lungguh seorang pegawai diharapkan membayar
semua biaya yang meliputi pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
Titik
pusat kebijakan kerajaan yang sudah dianggap mapan yaitu swasembada pangan yang
dapat mensuplai warga desa baik barang maupun uang untuk kas kerajaan,
stabilitas keamanan dan kesinambungan yang perlu dibentuk keamanan kolektif
inter dan antar desa termasuk keterlibatan Wedana Lebet yang bergelar Tumen9gun9
menjadi urgen dalam menjaga ketentraman desa.
Tugas
utama Tumenggung yaitu mengkoordinasikan dan sebagai komando beberapa
desa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya terutama dalam bidang keamanan,
ketertiban dan menjaga aset-aset desa termasuk pendapatan pajak desa. Sartono,
Marwati dan Nugroho (1975:4) mengemukakan bahwa para Wedana Lebet biasanya
memakai gelar Tumenggung atau Pangeran bila pejabat itu masaih
keturunan raja. Masing-masing Wedana Lebet dibantu oleh seorang Kliwon
atau sering disebut juga dengan Papatih atau Lurah Carik yang
biasanya memakai gelar Ngabehi, kemudian seorang Kebayan yang
memakai gelar Nagabehi, Rangga atau Raden dan 40 orang Mnniri
Jajar.
Struktur
Bekel ke atas yaitu Bekel atau kepala desa - Wedana Lebet atau
Tumenggung - Patih - Raja. Pada posisi Tumenggung mulai melebar
untuk membantu mengkoordinasikan desa. Untuk itu dibantu beberapa pejabat
yaitu seorang Kliwon yang bergelar Ngubehi, seorang Kebayan yang memakai
gelar Rangga atau Raden dan 40 Mantri Jajar yang
melaksanakan kegiatan membantu Tumenggung dalam bidang irigasi,
fasilitas umum, hail pertanian dan sebagainya. Sarfiono, Marwati dan Nugroho
(1975:8) mengemukakan bahwa sebagaimana halnya pejabat-pejabat kepala daerah
yang mempunyai staf pegawai yang mengurusi
urusan tertentu, Tumenggung juga dibantu oleh bawahan.
Perangkat lain dari Wedana Lebet atau Tumenggung
adalah Penghulu yaitu seorang yang memiliki tugas dan fungsi
menikahkan dan mengesahkan perkawinan, Khatib yang
bertugas mengembangkan syiar Islam dengan cara memberi tanda waktu shalat yaitu
mengumandangkan adzan dan iqomat dan melaksanakan shalat lima waktu ataupun
shalat Jumat. Modin mempunyai tugas memberi tanda waktu sholat melalui media beduk maupun kentongan. Sedangkan Naib
atau Suranata mempunyai tugas mencatat kelahiran, mengurus kematian
warga dan membantu perkawinan warga desa. Arti penting keagamaan pada masa
kerajaan Mataram Islam juga tercermin dalam adanya jawatan pemerintahan yaitu
lembaga kepenghuluan yang bertanggungjawab atas urusan-urusan agama termasuk
melaksanakan keadilan dalam pertikaian pertikaian dalam yurisdiksi hukum
Islam.
Tundan
desa
ialah suatu sistem komunikasi antara pusat kerajaan dengan daerah yang dilakukan
dengan mengirim berita melalui utusan yang disampaikan dari satu desa ke desa
lain hingga berita tersebut akhirnya sampai kepada yang dituju. Sistem tundan (tundan
= menaruh, menyimpan) ialah utusan dari satu desa hanya menyampaikan berita
itu ke desa lain yang dituju dan selanjutnya arnanat itu, akan dilanjutkannya,
akan diteruskan oleh petugas desa yang baru didatangi terus ke tempat yang
dituju.
BAB
VII
BEKEL
– PEMIMPIN DESA ZAMAN BELANDA
Karesidenan
dibagi-bagi menjadi beberapa Afdeling yang dipimpin oleh kepala
pemerintahan yang bergelar Asisten Residen atau Assistant Resident, bersamaan
dengan itu pula dengan wilayah yang sama terdapat daerah pemerintahan pamong
praja yang disebut Kabupaten atau Regenschap yang dipimpin oleh seorang
kepala pemerintahan yang bergelar Bupati atau Regent. Tiap-tiap
Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kewedanan atau District yang dipimpin
oleh seorang kepala pemerintahan yang bergelar Wedana. Tiap-tiap Kewedanan
dibagi-bagi menjadi Kecamatan atau Onder District yang masing=masing
dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana. Kecamatan meliputi beberapa
Desa yang dikepalai oleh kepala desa.
Garis
komando vertikal-horizontal bersifat hierarki yaitu tingkat provinsi atau Gewest
yang dipimpin oleh Gouvernour - Resident -.Elfdeling - Regenschap -
District - Onder District - Desa. Sedangkan dal-am aspek legislatif
berdasarkan Desentralisatie Besluit bahwa kepala dari pemerintahan
suatu Gewest adalah ketua dari Gewestelke Raad (Dewan Gewest).
Tugas dan wewenang Gewest antara lain merumuskan dan membuat
peraturan daerah tentang pengaturan pajak untuk kepentingan daerah dan
meTancang peraturan yang mengaiur kepentingan umum termasuk memberi pedoman '
bagi eksekutif dalam menjalankan roda pemerintahan.
Setiap
provinsi dibagi menjadi beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh Resident. Tiap-tiap
Karesidenan dibagi menjadi Afdeling yang dipimpin oleh Assitant
Resident. Resident yang dibantu oleb Assitant Resident merupakan
kepala pemerintahan yang memiliki fungsi koordinasi dan alur komunikasi
birokrasi antara pusat atau guberiiur dengan Regenschap atau kabupaten.
Posisi dan kedudukan Resident maupun Assistant Resident cukup
strategis terutama dalam tugas pemerintahan pada umumnya yaitu: 1) tugas
memerintah (regeertaak), 2) tugas eksekutif (menetapkan perturan
pelaksanaan undangundang), 3) tugas pemerintahan (bestuurtaak dalam
arti luas), 4) tugas administrasi. Tugas memerintah meliputi: a) tugas
perund,ang-undangan, b) tugas pemerintaha dalam arti luas, c) tugas kepolisian,
d) tugas pertahanan, el tugas peradilan. Berbagai tugas tersebut membutuhkan
koor inasi dengan titik utama pada perencanaan kegiatan, pengendalian dan pengorganisasian
yang mantap. Sebagaimana dijelaskan Syafruddin (1976:69) bahwa koordinasi
adalah suatu pengaturan yang teratur dari suatu usaha. Untuk apa dan cara
bagaimana ialah demi mencukupi secara wajar suatu waktu (yang telah ditetapkan)
dan pengarahan pelaksanaan usaha itu sehingga menghasilkan kegiatan-kegiatan
yang serupa dan bulat menuju tujuan yang digariskan.
Bupati
merupakan kepala pemerintahan tingkat kabupaten juga ketua dari dewan
kabupaten memiliki otoritas yang cukup besar terutama dalam menjalankan
keputusan-keputusan dewan kabupaten dan Majelis Gecommiteerden yang diberikan
kepadanya. Bersamaan dengan itu terdapat daerah pemerintahan pamong praja yang
disebut kotapraja atau Gemeente Raad. Ketua Gemeente Raad diangkat
oleh Gubernur Jenderal dan dapat dipecat atau diberhentikan oleh Gubernur
Jenderal dan memakai gelar Burgemeester atau Walikota. Dewan kota hanya
mengurusi wilayah kota praja sedangkan di luar itu menjadi bagian integral dari
kabupaten atau bupati.
Wilayah
kabupaten dibagi menjadi beberapa Kewedanan atau distrik yang dipimpin oleh
seorang Wedana. Tugas dan kewajiban serta wewenang Wedana adalah
mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengurusi pelaksanaan kegiatan pemerintahan
hingga hasil-hasil yang diperoleh daerah pada setiap distrik atau kecamatan
terutama pada masalah kemasyarakatan. hukum dan pendapatan pajak, sedangkan
wilayah ker:amatan atau Ortder District yang dipimpin oleh Camat atau
Assisten Wedana wilayah kecamatan tersebut meliputi desadesa yang dikepalai
oleh kepala desa.
Struktur
pemerintahan desa secara horizontal berpedoman pada IGO (Inlandsche
Gemeente Ordonantie) merupakan ujung tombak bagi jalannya pemerintahan desa
terutama dalam mengelola dan membina kehidupan bersama dalam lingkungan
masyarakat desa. Sedangkan pada IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie
Buitengewesten) terdiri dari kepala desa, dewan desa dan perangkat desa
atau disebut pembantu kepala desa.
BAB
VIII
BEKEL
– PEMIMPIN DESA ZAMAN JEPANG
Kepala
desa memiliki fungsi menjadi mediator antara kepentingan pemerintah dengan
harapan dan kepentingan masyarakat. Kepentingan pemerintah Jepang yaitu
mengalirnya informasi tentang Jepang sebagai saudara tua Asia dan seterusnya.
Di samping itu, optimalisasi pendapatan ekonomi desa untuk kepentingan
pemerintah Jepang dan berbagai jargon jargon lainnya untuk memperkuat
siasat pemerintah militer Jepang. Mengalirnya informasi dari pemerintahan
militer Jepang ke desa melalui Bupati - Wedana maupun distrik menunjukkan
posisi strategis dan otoritas yang tinggi bagi kepala desa dalam mengendalikan
kehidupan masyarakat.
Kepala desa atau bekel beserta perangkat desa
lainnya sebagai bagian integral dari pemerintah militer Jepang dirangsang
dengan berbagai prestasi termasuk melalui berbagai pendekatan budaya yang
muaranya memperpoleh pajak yang optimal. Soetardjo (1984:56) menjelaskan
bahwa pada masa penjajahan Jepang, untuk mencukupi kebutuhan perang maka
otonomi desa dan kedudukan hukum desa dipergunakan lebih hebat dari biasa.
Untuk banyak keperluan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah Syuu
(Karesidenan) dipergunakan instituut gugur gunung. Demikian juga
kekuasaan kepala desa diperas dan ditekan sehingga menjadikan merosotnya
kedudukan kepala desa di mata rakyat. Sejalan dengan itu, jumlah rakyat
Indonesia selama pendudukan Jepang yang harus bekerja keras sebagai Romusha
atau serdadu pekerja tidak diketahui seluruhnya. Dalam tahun i951, taksiran
resmi pemerintah Indonesia sebanyak empat ratus ribu orang. Jumlah tersebut
diambil dari para pemuda dan tenaga potensial baik dari kota dan desa melalu
biro tenaga keija maupun melaluii bekel atau kepala
desa.
Bekel atau kepala desa, perangkat desa atau pamong desa secara hak ulayat
diberi gaji
berupa tanah milik desa yang disebut bengkok. Besar dan luasnya tanah bengkok
bervariasi sesuai dengan hirarki jabatan dan status yang melekat.
Model
hak ulayat untuk membayar gaji atau imbalan bagi kepala desa beserta
alat-alat desa lainnya, menunjukkan tingkat kesejahteraan dan potensi yang
dimiliki desa. Semakin luas dan besar wilayah desa maka cenderung semakin
tinggi potensi yang dimiliki pemerintahan desa terutama dalam bentuk tanah-tanah komunal maupun tanah milik
desa. Tanah milik desa yang disebut tanah titisari yang fungsinya untuk
kelanearan jalannya roda pemerintahan desa kegiatan-kegiatan pemerintahan desa
dalam pembangunan dan termasuk penyediaan fasilitas sosial. Kastoer (1995:136)
menegaskan bahwa penyelenggaraan fasilitas sosial dimaksudkan guna
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kualitas kehidupan yang
layak. Fasilitas sosial ini terdiri dari lapangan terbuka yang dibutuhkan
masyarakatt fasilitas-fasilitas dan sarana tersebut
termasuk fasilitas pendidikan, kesehatan, pembelanjaan, niaga,
pemerintahan, peribadatan, olahraga dan sebagainya yang kesemuanya itu menjadi
tanggungjawab kepala desa dan perangkat desa dalam mengoptimalkan
potensi yang ada di masyarakat.
Melalui
pemahaman tersebut dapat diungkap bahwa ada pergeseran kepemimpinan desa dari
pimpinan masyarakat dan adat desa yang membela dan mengayomi kepentingan masyarakat
ke arah kepatuhan dan tunduk untuk membela kepentingan pemerintah militer
Jepang yang dilakukan lebih dari semestinya dengan orientasi optimalisasi
pajak, retribusi dan sejenisnya untuk kepentingan penguasa.
BAB
IX
KEPALA DESA PRAJA - PEMIMPIN DESA ZAMAN ORDE LAMA
KEPALA DESA PRAJA - PEMIMPIN DESA ZAMAN ORDE LAMA
Proses
seleksi atau pemilihan, kedudukan, kewenangan, kewajiban dan hak Kepala
Desapraja termasuk lowongan dan situasi yang membuat kepala desa tidak dapat
menjalankan tugas pemerintahannya, kesemua itu diatur secara rinci, tegas dan
komprehensif sehingga tidak ada peluang bagi longgarnya tata aturan tentang
Desapraja. Pemilihan Kepala Desapraja dilaksanakan langsung oleh penduduk desa
dengan berpaduan pada peraturan pemilihan, pengangkatan dan pengesehan serta
pemberhentian Kepala Desapraja yang ditentukan oleh pemerintah daerah tingkat I
atau Provinsi, ketentuan tersebut tetap dengan memperhatikan adat kebiasaan
setempat termasuk persyaratan untuk dipilih dan diangkat menjadi Kepala
Desapraja.
Kedudukan
kepala desa praja di samping sebagai alat dan perangkat desa yang diangkat
dengan keputusan Gubernur juga sebagai mitra bekerja Badan Musyawarah
Desapraja. Mitra kerja tersebut ditandai dengan pola hubungan dan kinerja bahwa
Kepala Desapraja tidak dapat diberhentikan karena sesuatu keputusan Badan
Musyawarah Desapraja. Pemahaman lebih lanjut bahwa kinerja Kepala Desapraja
sekalipun tidak mampu maupun berhalangan dalam melaksanakan kewajibannya ia
dlwakili oleh seorang pamong Desapraja sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
Alat-alat
kelengkapan Desapraja tidak saja Kepala Desapraja tetapi Pamong Desapraja,
Panitera Desapraja, Petugas Desapraja, Badan Pertimbangan Desapraja dan Badan
Musyawarah Desa-praja. Kesemua itu, pamong Desapraja yang substansinya membantu
jalannya roda pemerintahan desa. Di samping itu, Kepala Desapraja yang
mengepalai sesuatu dukuh yang juga penduduk dukuh tersebut dalam
lingkungan daerah Desapraja. Dukuh dalam pemahaman ini adalah bagian
dari Desapraja yang merupakan kelompok perumahan tempat tinggal sejumlah yang
biasanya disebut dusun, dukuh, kampung, blok dan sebagainya.
Jumlah
pamong Desapraja sebagai salah satu alat pelengkap pemerintah desa disesuaikan
dengan jumlah kampung, dukuh, blok ataupun dusun yang ada di dalam
Desapraja. Sedangkan syarat-syarat dan ketentuan tentang larangan rangkap
jabatan sebagaimana diterapkan pada kepala Desapraja diberlakukan juga pada
pamong Desapraja termasuk hak yang diperoleh dalam bentuk penghasilan tetap
yang bersumber dari hak milik Desapraja dalam bentuk tanah bengkok dan dana
stimulan dari pemerintah pusat yang besarnya diatur berdasarkan I'edoman
Menteri Dal-am Negeri dan ditetapkan dengan Keputusan Badan Musyawarah
Desapraja.
Kedudukan
pamong Desapraja dalam hirarki pemerintahan pamong Desapraja diangkat dengan
Surat Keputusan Bupati Daerah Tingkat II, tentang Tata Cara Pemilihan,
Pengangkatan dan Pemecatan berdasarkan aturan dari provinsi. Pelaksanaan
pelantikan yang disertai dengan pengucapan sumpah sesuai dengan agamanya dalam
sidang Badan Musyawarah Desapraja.
Alat
kelengkapan Desapraja lainnya yaitu Panitera Desapraja, petugas dan pegawai
Desapraja. Kedudukan Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraja yang memimpin
penyelenggaraan Tata Usaha Desapraja dan sebagai Tata Usaha di bawah
koordinasi dan tanggungjawab Kepala Desapraja.
Panitera
Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan
Badan Musyawarah Desapraja. Untuk itu Kepala Desapraja bisa menunjuk satu orang
atau beberapa orang untuk menjadi Asisten Panitera Desapraja. Penghasilan
Panitera dan pegawai Desapraja ditetapkan oleh Kepala Desapraja berdasarkan
peraturan yang diputuskan oleh Badan Musyawarah Desapraja dengan berpedoman
pada Keputusan Menteri Dalam Negeri dan dianasukkan dalam anggaran keuangan
Desapraja. Panitera maupun asisten panitera merupakan alat kelengkapan desa
diangkat atau diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan persetujuan Badan
Musyawarah Desapraja. Proses pemberhentiannya dilakukan atas dasar permintaan
sendiri, berakhirnya masa jabatan, tidak lagi memenuhi syarat dan melanggar
larangan rangkap jabatan yang sudah digariskan dalam ketentuan:
BAB
X
KEPALA
DESA - PEMIMPIN DESA ZAMAN ORDE BARU
Kepala desa merupakan sebutan bagi pimpinan
formal desa yang diberlakukan secara seragam dan sentralistik yang diatur
secara rinci dalam Undang-undang No.5 Tahun 1979 Pasal 4 sampai dengan Pasal
13, yang mengatur pemilihan, pengangkatan, pemberhentian, hak, wewenang dan
kewajiban kepala desa sebagai pimpinan yang loyal pada atasan (camat) dan juga
pada masyarakat yang telah memberi amanat dan mandat lewat pemilihan kepala
desa.
Pemilihan
kepala desa merupakan bentuk dari demokrasi yang telah terbangun sejak zaman
kerajaan, Belanda, Jepang hingga saat ini. Proses pemilihan kepala desa yaitu
dipilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia oleh penduduk desa yang telah
berumur sekurang-kurangnya 17 tahun atau telah (pernah) kawin. Kepala tlesa
yang telah dipilih warga diangkat dan dilantik oleh Bupati Kepala Daerah
Tingkat II atas nama Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I dengan mengucapkan
sumpah menurut agamanya masing-masing atau berjanji dengan
sungguh-sungguh. Kondisi tersebut cukup menarik bagi eksistensi kepala desa
yang dipilih langsung oleh rakyat, namun pertanggungjawabannya kepada Bupati
melalui Camat, bahkan camat dengan kewenangan yang melekat sebagai kepala
wilayah bisa bertindak sebagai atasan
langsung bagi kepala desa.
Masa jabatan kepala desa di era Orde Baru adalah 8
tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat diangkat kembali untuk satu
kali masa jabatan berikutnya. Ketentuan tersebut pada prakteknya
banyak dilanggar, terbukti kepala desa sudah dua kali menjadi kepala desa namun
tetap menjabat hingga tiga kali, kecuali diberhentikan disebabkan karena
meninggal dunia. Kondisi tersebut berbeda dengan pemberhentian kepala desa
secara normatif seperti atas permintaan sendiri, berakhir masa jabatannya dan
telah dilantik kepala desa yang baru, tidak memenuhi syarat, melanggar sumpah
atau janji, melanggar larangan bagi kepala desa dan sebab-sebab lainnya.
Prinsip
dasar diberhentikannya kepala desa dilakukan dengan hormat yaitu jika yang
bersangkutan meninggal dunia atau atas permintaannya sendiri. Sedangkan jika
yang bersangkutan melanggar dan terbukti menurut Kitab Undangundang Acara
Pidana maka dapat diberhentikan secara tidak hormat.
Kepala
desa yang telah dilantik memiliki hak, wewenang dan tanggungjawab. Kepala desa
menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan
penanggungjawab utama pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam
rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan desa, urusan pemerintahan umum
termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa
gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pemerintahan desa.
Pemahaman
yang mendalam bahwa kepala desa dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban
sebagai pimpinan masyarakat desa bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang
mengangkat melalui Camat dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut
kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Di samping itu, kepala desa berkewajiban
mewakili desa di dalam dan di luar penyidikan termasuk dapat menunjuk kuasa
hukum yang dapat membela kepentingan masyarakat desa. Prinsip dasar kewajiban
kepala desa yaitu menjunjung tinggi kepentingan negara, pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat desa.
Pemerintah
desa atau alat kelengkapan desa di samping kepala desa juga sekretaris desa
yang merupakan unsur staf dalam membantu kepala desa menjalankan hak,
kewenangan dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintahan desa. Sekretaris desa
disebut juru tulis bersama-sama dengan kepala urusan baik urusan irigasi
maupun tanah yang disebut raksa bumi, kepala urusan perkawinan dan
kematian yang disebut lebe, kepala urusan surat menyurat, urusan
keuangan, urusan pendataan dan kepala urusan umum.
Sementara
itu, di samping ada kepala urusan, juga ada kepala seksi kerohanian, kepala
seksi sosial budaya, kepala seksi ekonomi, ketertiban dan keamanan dan terakhir
alat kelengkapan pemerintahan desa yaitu kepala dusun. Ndraha (1987:107) menjelaskan
bahwa jabatan kepala dusun lebih pada jabatan teritorial di wilayah tertentu.
Kepala dusun yaitu unsur pelaksana tugas kepala desa dengan wilayah kerja
tertentu sebagai upaya untuk memperlancar jalannya roda pemerintahan desa.
Pemahaman
tersebut sejalan dengan Usman (1998:64), di pedesaan saat ini para
pemimpin formal (pamong desa) lebih banyak menyandang kepemimpinan yang
bersifat polymorphic (berpengaruh dalam banyak bidang). Sedangkan
kondisi saat ini, kedudukan pamong desa sebagai administrator pemerintahan dan
sekaligus sebagai agen dan dinamisator pembangunan menjadi
semakin tegas. Kendati mereka dipilih langsung oleh rakyat, dalam banyak hal
mereka lebih banyak mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada aparatur
pemerintah di tingkat kecamatan dan kabupaten, karena mereka penunjang
birokrasi di tingkat desa.
Posisi
kepala desa termasuk pamong desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah supra
desa harus loyal pada Camat, Bupati dan seterusnya, sedangkan posisi sebagai
pimpinan desa yang dipilih langsung oleh masyarakat desa mempunyai
tanggungjawab moral-spiritual untuk mengabdi dan memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Untuk itu, idealnya aspirasi masyarakat desa seirama dengan pejabat supra desa,
sehingga terjadi link and match atau kesepadanan antara keinginan
dengan berbagai kebijakan pemerintah dengan harapan dan cita-cita masyarakat
desa.
Kondisi
empirik di atas sejalan dengan konsep bahwa kepala desa sebagai pemimpin formal
mengalami pergeseran dari pholimorphic ke administrator yang
mengedepankan ketelitian, kecermatan dan ketepatan serta bekerja sejalan dengan
sistem nilai formal yang berlaku dengan mengedepankan loyalitas kepada
birokrasi supra desa.
BAB XI
KEPALA
DESA PEMIMPIN DESA ZAMAN REFORMASI
Pemerintah
desa terdiri dari kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat
desa yang terdiri atas unsur pelayanan yaitu Sekretaris Desa dan atau Tata
Usaha Desa, unsur pelaksana teknis lapangan dan unsur pembantu kepala desa di
wilayah bagian desa seperti Kepala Dusun. Burger (dalam Bayu, 1981:12)
menerangkan sebagai berikut: di dalam kehidupan masyarakat Jawa pada zaman
dahulu dapat dibedakan empat tahap yaitu pertama raja-raja, kedua kepalakepala
provinsi (adalah kira-kira para bupati sekarang), ketiga kepala-kepala desa dan
keempat masa yang terdiri dari rakyat kampung. Singkatnya orang-orang Eropa
telah berhubungan dengan raja-raja, pada permulaan abad 17 dan kira-lara tahun
i8oo dengan bupati-bupati dan dalam pertengahan abad yang lalu dengan
kepala-kepala kampung dan dalam abad sekarang dengan masyarakat kampung.
Mekanisme
pemilihan, pelantikan, tugas dan kewajiban kepala desa termasuk pemberhentian
dan pertanggungjawaban kepala desa secara prinsip dilakukan dalam dua tahap
yaitu tahap pencalonan dan pemilihan yang diatur dalam PP NO-76 yaitu sebagai
berikut: Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila, UUD 1945 dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, berpendidikan paling rendah Sekolah
Menengah Pertama, berusia paling rendah 25 tahun, bersedia dicalonkan menjadi
kepala desa, penduduk desa setempat, tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan dengan hukuman paling singkat 5(lima) tahun, tidak dicabut
hak pilihnya sesuai dengan keputusan pengadilan, dan belum pernah menjabat
sebagai kepala desa dan memenuhi syarat lain yang diatur dalam peraturan
daerah. Sedangkan pada tahap selanjutnya adalah pemilihan yaitu dipilih
langsung oleh masyarakat desa dari calon yang memiliki syarat.
BAB
XII
PERGESE KEPEMIMPINAN DESA
PERGESE KEPEMIMPINAN DESA
A. Penyampaian Informasi
Interaksi
kepala desa dengan masyarakat dilakukan melalui beberapa upaya antara lain,
Kuwu menyampaikan informasi kepada masyarakat secara langsung maupun
pendelegasian kepada Sekretaris Desa, Kaur maupun Kepala Dusun. Informasi
Iangsung dan tidak langsung dilakukan melalui media rapat desa, rapat Lembaga
Musyawarah Desa, media shalat jumat, tahlilan baik di masjid, langgar,
musholla dan sebagainya.
Isi
informasi yang disampaikan Kuwu lebih banyak bersumber dari supra desa baik
pusat, provinsi, kabupaten, kewedanaan dan kecamatan. Sebaliknya, informasi
bersumber dari masyarakat disampa'kan melalui media rapat dan koordinasi dengan
mewajibkan perangkat untuk desa hadir dengan menerapkan disiplin yang tegas.
Fenomena
lain dalam kepemimpinan desaa adalah tugas yang dilaksanakan secara bersama
karena kepala desa juga sekaligus Ketua LMD yang bertugas menyalurkan pendapat
dan aspirasi masyarakat dengan serta menyiapkan penyusurtan keputusan desa.
Kondisi empirik menunjukkan di Era Orde Baru kepala desa merangkap sebagai
Ketua LMD sedangkan Sekretaris LMD dijabat Sekretaris Desa, dan anggotanya
terdiri dari tokoh masyarakat baik agama, pemuda, wanita maupun cendikia.
Kondisi
tersebut memposisikan Kuwu dan Sekretaris Desa sebagai ex officio dari
Ketua dan Sekretaris LMD, padahal kedua lembaga tersebut memiliki fungsi yang
berbeda. Saat ini di desa terdapat perubahan paradigma dengan adanya Badan
Perwakilan Desa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Masyarakat Desa.
Ketika
Orde Baru tokoh masyarakat yang tergabung dalam anggota LMD praktis tidak dapat
memberikan kontribusi secara optimal karena ketua dan sekretarisnya dipegang
oleh Kuwu dan Sekretaris Desa, sehingga dengan demikian keduanya adalah
eksekutif desa sekaligus legislatif. Bersatunya Kuwu dan Sekretaris Desa dalam LMD
secara esensial melahirkan hubungan yang kurang dinamis. Mereka tampil dalam
pemerintahan, juga tampil dalam LMD. Satu sisi sebagai pemain, dan pada sisi
lain sebagai wasit. Dengan demikian, LMD hanya steminel dan pengesahan
terhadap kebijakankebijakan dalam rencana pembangunan yang telah dirumuskan
oleh Kuwu beserta perangkat desa.
B. Mempengaruhi
Masyarakat
Kedua, Kuwu dalam
mempengaruhi masyarakat melalui instruksi dan pemanggilan baik melalui pamong
desa dan kemit desa (penjaga kantor desa) maupun kepala dusun. Kondisi
empirik tersebut sejalan dengan tata aturan normatif UU No. 5/1979 bahwa
pemerintah desa dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat desa yang
terdiri atas Sekretaris Desa, kaur-kaur
dan kepala urusan.
Melalui unsur-unsur
organisasi baik lini maupun staf mengalir urusan pemerintahan desa yakni urusan
dekonsentratif atau urusan yang menjadi tanggungjawab pemerintah yang lebih
atas seperti perencanaan, pembiayaan, pengawasan dan pertanggungjawaban,
sedangkan pelaksanaannya ditugaskan kepada pemerintah desa. Hal ini juga
menunjukkan bahwa melalui mesin birokrasi pemerintahan desa menjadi muara bagi
kegiatan Departemen Dalam Negeri dan lintas departemen yang memiliki
proyek-proyek di desa.
C.
Kepercayaan Masyaraizat
Ketiga,
dalam
menjaga kepercayaan masyarakat, Kuwu melaksanakan tugas dengan cepat dan
tepat sejalan dengan konsep kepemimpinan yang berorientasi tugas, yaitu
pemimpin yang mementingkan hasil. Tata aturan normatif UU No. 5/1979
menjelaskan bahwa tugas kepala desa yaitu ter-capainya penyelenggaraan
pemerintahan, pemberdayaan dan pembangunan di tingkat masyarakat desa secara
optimal. Sedangkan untuk membangun situasi antara kepala desa dengan
infra dan supra desa yaitu dengan kemampuan mengerakkan masyarakat secara
struktural, prosedural dan bekerja sesuai dengan prinsip administrasi desa. Ini
sejalan dengan pandangan Ndraha (198i:io8) bahwa meningkatnya kegiatan
pemerintahan dan lainnya mengakibatkan peningkatan yang cepat dalam urusan
pemerintahan yang menunjang pembinaan masyarakat yang bermaksud menciptakan
kondisi yang partisipasi dalam pembangunan.
Keempat,
kepala
desa merupakan sumber informasi bagi infra desa dan supra desa, dalam hal ini
maka fungsi kepala desa adalah sebagai eksekutif juga merangkap legislatif. Kelima,
permasalahan-permasalahan yang bisa diatasi maupun tidak harus
diinformasikan dalam bentuk laporan perkembangan desa kepada camat sebagai
atasan langsung yang juga sebagai kepala wilayah kecamatan. Laporan tersebut
diberikan secara berkala dan berkesinamhungari balk secara tY1 wulan
maupun tahunan. Inti laporan adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan
pemerintah desa baik dalam bidang pemerintahaan, pembangunan maupun
pemberdayaan masyarakat dan monografi desa secara komprehensif. Keenam, hubungan
camat dengan infra desa sangat didominasi oleh pelaksanaan tugas dan fungsi. Ketujuh,
sebutan kepala desa diberlakukan sama pada semua desa. Dalam konteks
otonomi desa hal ini merupakan pengingkaran terhadap kemajemukan desa yang
berdasarkan pada asas indegineous knowledge, potensi dan berbagai hukum
adat yang berdasarkan asal-usul desa dan kedelapan, kebijakan pemekaran
berasal dari skema supra desa. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah supra desa
melihat faktor-faktor pemekaran suatu wilayah hanya didasarkan pada
pertimbangan politik dengan bersembunyi pada aspek jumlah penduduk tanpa
memperhitungkan aspek lain yang ikut menentukan seperti kondisi sosial budaya
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar